Rabu, 05 Oktober 2016

Tomia, a brief Story and Perspectiveness


Sejarah Singkat Pulau Tomia

 

Image result for Pulau Tomia
Tarian Perang Anak-Anak Pulau Tomia
Sumber ( http://wiranurmansyah.com/postcards-from-wakatobi)

Wakatobi adalah pulau Nano-nano,” begitulah kata Ir. Hugua, orang nomor satu di kabupaten ini. Kata ‘Nano- nano’ membawaku pada kenangan masa kecilku tentang permen lolly pop yang rasanya manis, asam, asin itu. Khayalan liarku pun mencoba menangkap maksud beliau. Manis. Mungkin maksudnya adalah orang Wakatobi semuanya manis-manis. Asam. Di daratan Wakatobi banyak ditumbuhi pohon Asam. Dan asin. Wakatobi dikelilingi oleh laut dan teluk, yang tentunya rasa air laut dan teluk itu asin. Juga di Wakatobi banyak memproduksi ikan asin. Itulah menurut versi saya, bagaimana dengan Anda? Bingung? Mari kita lanjutkan lagi perjalanan. Nano-nano sebenarnya adalah simbol keragaman rasa dan budaya. Salah satu keragaman itu adalah sejarah asal-muasal pulau-pulau yang ada di kabupaten ini. Salah satunya adalah sejarah Pulau Tomia.
         Tomia adalah salah satu pulau yang ada di Kabupaten Wakatobi, memiliki 2 kecamatan dan 15 desa. Kecamatan Tomia Barat (Tomia Induk) berpusat di Waha dan Kecamatan Tomia Timur berpusat di Usuku. Kecamatan Tomia Timur merupakan pemekaran dari Tomia Induk tak lama setelah pemekaran Wakatobi sebagai kabupaten di Tahun 2003. Menelusuri sejarah Tomia cukup menyulitkan saya karena tidak adanya sumber tertulis yang bisa dijadikan acuan. Kerumitan lain adalah perbedaan kisah antara narasumber yang satu dengan yang lain sehingga saya tak bisa menentukan manakah cerita yang sebenarnya. 
     Dikisahkan dahulu kala, Tomia masih berupa pulau tanpa nama,tanpa penghuni. Suatu hari, ada seorang pemuda bernama Sipanyong. Ia pedagang asal Tobelo, Maluku Utara. Ia hendak berlayar dari negerinya menuju Ambon menggunakan perahu kecil seorang diri. Dalam perjalanan, ia dihantam badai besar hingga perahunya porak-poranda. Beruntung masih ada puing-puing perahu yang dipakainya untuk berakit-rakit hingga mencapai karang Korumaha di Pulau Tomia. Korumaha terletak di pantai Desa Kulati. Sesampainya di Korumahaa menoleh ke arah kiri, kanan, muka dan belakang namun tak ada orang. Sipanyong pun melanjutkan perjalanan asingnya ke daratan pulau tak bertuan itu. Ia menemukan sebuah gunung dan beristirahatlah dia di sana. Beberapa saat kemudian ia mulai merasa lapar. Dicarilah ubi-ubian, sayur Rumbe, terung dan cabe sebagai pengisi perutnya. Dalam sejarah kemudian Sipanyong disebut-sebut sebagai orang yang pertami kali menemukan dan menginjakkan kakinya di Pulau Tomia. Beda pula yang diungkapkan oleh Haji Nuraeni, seorang tokoh adat juga pensiunan guru berusia 79 tahun. Menurutnya orang yang pertama kali menginjakkan kakinya di Tomia adalah Timbarado, seorang pedagang berasal dari Timor-Timor.
      Dalam keterasingannya di pulau tak bertuan itu, tiba-tiba ia melihat sebuah perahu yang mendekat dari arah Selatan. Sipanyong penasaran dengan perahu asing tersebut. Maka pergilah ia menuju tanjung, tempat dimana perahu asing itu berlabuh. Tanjung tersebut akhirnya diberi nama Ou Polio karena Sipanyong pergi menjemput tamu asing tersebut. Yang dalam bahasa Maluku Utara Polio artinya menjemput, dan Ou dalam Bahasa Tomia artinya tanjung. Kemudian keluarlah seorang pemuda gagah dari dalam perahu tersebut. Pemuda itu bernama Timbarado. Ia seorang pedagang asal Jawa Timur yang sedang melakukan pelayaran dagang bersama istrinya. Saat itu istrinya disembunyikan di bawah palka perahu dengan dalih takut direbut oleh seorang pria asing yaitu Sipanyong. Kedua pemuda itupun saling berkenalan. Dan Sipanyong mengajak Timbarado ke gunung tempat peristirahatannya. Akhirnya gunung tersebut diberi nama Koa. Disebut Koa artinya persahabatan. 
     Dalam istirahatnya di Gunung Koa, Timbarado mengkhawatirkan istrinya seorang diri di perahu. Otak pun diputar akal dicari. Tatkala dalam sebuah kesempatan, Timbarado ditugaskan oleh Sipanyong untuk mencari ikan di laut. Sedangkan Sipanyong mencari ubi-ubian untuk makan malam di hutan. Timbarado pun melihat kima (kerang besar) dan pura-pura terkejut bahwa ia melihat seorang wanita cantik yang muncul dari dalam kima. Ia pun berteriak kegirangan dan memanggil Sipanyong untuk menyaksikan peristiwa yang direkayasanya itu. Karena kaget bercampul jengkel pada Timbarado ,Sipanyong berteriak “Tiroau!!!”. Dalam bahasa Tobelo kata Tiroau merupakan sejenis caci makian. Maka tempat dimana Sipanyong mengambil ubi saat itu diberi nama Tiroau. Konon tempat itu sekarang menjadi sebuah desa, yaitu Desa Tiroau. Adalah satu-satunya desa di Tomia yang menampung pengungsi terbanyak pada Kerusuhan Ambon tahun 1999 silam. Di desa inilah tempat tinggal penulis. Layaknya pemuda yang masih lugu, Sipanyong pun percaya mentah-mentah pada kawannya itu. Diajaklah wanita ajaib itu menuju Gunung Koa. Timbarado diberi tempat tinggal khusus bersama wanita temuannya itu di Gunung Koa fofine( Gunung Koa perempuan). Sedangkan Sipanyong tinggal sendirian di Gunung Koa moane( Gunung Koa laki-laki). Wanita itu bernama Sitinya. 
      Beberapa bulan kemudian Sitinya hamil dan melahirkan anak perempuan bernama Padatimu. Waktu bergulir dengan cepat dan Padatimu pun tumbuh menjadi gadis cantik dan akhirnya dinikahi oleh Sipanyong. Keturunan Sipanyong dan Padatimu inilah kemudian berkembang menjadi asal muasal penduduk Tomia. Karena kian hari jumlah manusia semakin banyak sehingga dibagilah Tomia menjadi dua kawasan yaitu Kawati Timu ( Kawasan Timur) yang berpusat di Koa dan Kawati Waha( Kawasan Barat) yang berpusat di Fumbu Komba-Komba di bawah pemerintahan seorang pati atau raja yaitu Raja Sipanyong.
    Berkuasalah Sipanyong di pulau tak bernama itu. Tersohorlah nama Sipanyong sampai ke negerinya, Tobelo. Hingga berita itu sampai ke telinga Raja Tobelo. Raja Tobelo menjadi sirik dan mengutus gerombolan pasukan yang bernama Kasawari atau Sanggila dengan misi untuk menculik warga keturunan Tobelo yang ada di Tomia. Ketika sampai di laut Tomia mereka melihat ada cahaya putih di atas gunung. Refleks salah satu dari gerombolan itu berteriak “Te mia” yang artinya ‘itu orang’. Akhirnya pulau itu diberi nama Tomia. Dan konon cahaya putih itu adalah sebuah batu yang tampak seperti manusia jika dilihat dari jauh. Sayangnya, batu itu tidak lagi nampak seperti bentuk tubuh manusia karena sudah ditumbuhi pohon beringin besar. 
       Tibalah gerombolan pengacau itu di Tomia. Penduduk Tomia pun lari bersembunyi dalam benteng. Saat itu pengacau berhasil menangkap seorang gadis saja yang sedang mencari ramu-ramuan untuk bedak. Nama gadis itu Wa Kastela. Gadis itu pun akhirnya ditawan dan dibawa ke Tobelo.
Kedatangan gerombolan pengacau itu kemudian menjadi cikal bakal pembangunan benteng-benteng pertahanan di Tomia. Benteng-benteng itu ada lima, diurut berdasarkan usianya yaitu Benteng Suwia, Odho, Rambi Randa, Fumbu Komba-Komba dan Patua. Dari kelima benteng di atas, hanya Suwia dan Odho yang dibangun sebelum masuknya Islam di Tomia sehingga ia masih berasitektur Hindu. Sedangkan tiga benteng berikutnya dibangun setelah masuknya Islam. Sayangnya, dari kelima benteng ini, baru Patua yang mendapat perhatian dari pemda Wakatobi dengan diadakannya Festival Patua pada 13 Agustus 2013 lalu. Akses transportasi ke benteng ini pun mudah dan lancar. Sedangkan empat benteng lain dalam kondisi tertutup hutan dan semak belukar. 
    Kisah berbeda dituturkan oleh Haji Aeni bahwa Timbarado adalah orang yang pertama kali menginjakkan kakinya di Tomia. Cerita bermula dari pemuda asal Timor-Timor itu, meninggalkan kampung halamannya untuk mencari Raja Wolio di Buton yang terkenal kesaktiannya. Di tengah perjalanan antara Tomia dan Timor-Timor ia bertemu segerombolan pengacau yang disebut Sanggila. Gerombolan Sanggila itu ada yang berasal dari Tobelo dan sebagiannya lagi berasal dari Mindanao (Manila). Mereka pun mengajak Timbarado untuk bersahabat dan mereka sama-sama melakukan pelayaran ke Tobelo. Tiba di Tobelo, Timbarado tak tinggal diam. Iapun kembali berlayar ke Buton untuk bertemu Raja Wolio. Dalam perjalanan nya dihadang badai hingga akhirnya ia terdampar di Tomia. Sehingga ialah yang pertama kali menemukan Pulau Tomia. Beberapa hari kemudian datanglah Tope dan Sipanyo beserta istrinya Sitinya dengan perahu kecil. 
     Tope dan Sipanyo juga adalah pemuda asal Timor-Timor. Sedangkan Sitinya adalah wanita asal Tobelo yang dinikahi Sipanyo pada saat persinggahannya beberapa hari di Tobelo. Bermukimlah mereka bersama-sama Timbarado di Gunung Koa. Tak lama kemudian lahirlah Padatimu anak dari buah perkawinan Sipanyo dan Sitinya. Setelah anak itu tumbuh menjadi dewasa dinikahilah oleh Timbarado. Selang beberapa tahun kemudian antara Sipanyong dan Timbarado bertengkar soal hak kepemilikan tanah di pulau itu. Timbarado mengaku bahwa ialah penemu Pulau Tomia dan ia yang berhak memiliki tanah-tanah di pulau tersebut. Sipanyo bersikeras dan mengklaim bahwa dialah pemilik tanah Tomia. Pertengkaran antara mertua dan menantu itu berakhir tragis. Dengan tangannya sendiri Timbarado membunuh Sipanyo. Bahkan ada versi lain lagi yang menyebutkan bahwa orang pertama Tomia berasal dari Wolio, Buton. Wallahualam.
      Sejarah Tomia hanya dituturkan dari mulut ke mulut, dari generasi ke generasi. Sayangnya hingga kini belum ada yang membukukannya atau meramunya menjadi semacam kisah-kisah dongeng atau sastra. Kisah yang sudah Anda baca di atas dituturkan oleh dua generasi yang berbeda. Haji Aeni berumur 79 tahun dan Hasan Djandi berumur 69 tahun. Merekapun didongengkan oleh orang tua dan pendahulu-pendahulu mereka.Tingkat daya ingat narasumber berpengaruh besar terhadap sejarah yang dikisahkan. Juga dari siapa mereka mendengarnya dan keberadaan bukti-bukti sejarahnya pun mempengaruhi kualitas kebenaran cerita. Usia muda tidak menjamin kuatnya ingatan seseorang. Begitu juga sebaliknya usia tua tidak selamanya lemah ingatan. Bagaimanapun kisahnya, Hasan Djandi dan Aeni adalah tokoh sejarah dan adat yang diakui masyarakat Tomia. Kini terserah dari masyarakat untuk menilai dan mencari kebenarannya.
      Tomia memiliki tanah tandus dan berbatu-batu. Oleh karena itu, rata-rata masyarakatnya menanam singkong di atas batu. Selain itu, luasnya juga tidak seberapa. Berkeliling dengan kendaraan bermotor hanya membutuhkan waktu dua sampai tiga jam. Mayoritas penduduknya muslim. Terdiri dari beragam suku, diantaranya suku Bajo, Bugis, Jawa, dan suku Buton/Wakatobi. Keelokan terumbu karang dan kekayaan khazanah budayanya bisa memikat hati Anda. Tomia juga dikenal karena memiliki potensi wisata ziarah berupa makam Encik Sulaiman, seorang tokoh penyiar Islam putra dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang wali yang makamnya ada di Kabupaten Gresik Jawa Timur. Istri Encik Sulaiman bernama Singku Jalima. Makam Encik ini terletak di depan Benteng Suo-Suo, di Desa Kahianga. Di Tomia, Encik biasa dikenal dengan sebutan Sibatran atau Sibatara. “Makam itu sangat dihormati dan sering diziarahi para calon jama’ah haji Tomia. Karena Encik Sulaiman dianggap cukup berjasa sebagai penyiar agama Islam di sini,” kata Hasan Djandi.
Narasumber:
Hasan Djandi, Mantan Kepala Desa Lagole dan tokoh adat( 1944-sekarang)
H. Aeni, pensiunan guru dan toko adat (1934-sekarang)
 
Oleh : Ima La Waru
This story was raised to be appearing in this brief narration by the author is based on a small ethographic research conducting in Lagole Village, Tomia Island on January 2014 of some schoolars namely (Asep Rahman, Marwan Upi, Nuriadin, and Wahid). Solute to those guys and hundred unforgotable thanks to the interviewees.

This article was firstly published by this link http://galampato.blogspot.co.id/2014/01/sejarah-tomia.html#more
on Thursday, January 30, 2014

Other stories of the island, you can find them on these links below:

http://www.cakgopar.com/2013/12/masuknya-islam-ke-pulau-tomia-wakatobi.html
http://galampato.blogspot.co.id/2014/04/karasi-si-manis-yang-masih-eksis.html
https://janganjalanjalan.com/2014/08/04/wakatobi-semalam-di-tomia/
http://lapatuju.blogspot.co.id/2013/05/sejarah-singkat-wakatobi.html
http://keluarga-tomia-dirantau.blogspot.co.id/2010/07/keliling-tomia-seri-ii.html

Jumat, 17 Juni 2016

Economic Effeciency

 


Chandrasekar, V., and Gopal, N., 2015. Economic Efficiency of Ring Seiners Operated off Munambam Coast of Kerala Using Data Envelopment Analysis. Agricultural Economic Research Review Vol. 28(1): 171 – 177.

Abstrak
Penelitian ini telah menghadirkan efesiensi ekonomi, yang memasukkan efesiensi alokasi dan teknis, dari pukat cincin (purse seine) yang dioperasikan di lepas pantai pelabuhan perikanan Munambam di Kerala. Model yang digunakan adalah berorientasi input Constant Return to Scale (CRS) Data Envelopment Analysis (DEA) dengan satu output dan lima variabel input. Analisis didasarkan pada sampel 300 trip (perjalanan) kapal purseine. Hasil-hasil minimalisasi orientasi input CRS DEA telah menunjukkan bahwa rata-rata efesiensi teknis dan efesiensi alokasi kapal purseine yang dioperasikan di lepas pesisir pantai Munambam adalah masing-masing 53 persen dan 76 persen. Efesiensi ekonomi keseluruhan kapal purseine telah ditemukan menjadi 40 persen, yang berkiasar dari 14.62 persen samai 100 persen untuk individu DMUs (Decision Making Units). Studi ini telah menemukan bahwa biaya bahan bakar tertinggi (68%) dari total biaya operasional.
Kata Kunci: efesiensi penggunaan input, analisis data envelopment, efesiensi teknis, program liniear, efesiensi ekonomi, kapal purseine, Kerala.

Hasil Review

Makalah ini mengkaji penggunaan metode Data Envelop Analysis (DEA) dan mengasumsikan pendekatan yang berorientasi terhadap input Constant Return to Scale (CRS) yang digunakan untuk mengkaji efesiensi ekonomi pada kapal-kapal perikanan pukat cincin (purse seine) yang dioperasikan di Lepas Pesisir Pantai Munamabam yang didaratkan hasil tangkapannya di Pelabuhan Perikanan Munamabam, Kabupaten Enakulam, Negara Bagian Kerala, India. Pengkajian ini didasarkan atas pertimbangan bahwa aktivitas perikanan tersebut memberikan peran sekitar 56 persen dari produksi perikanan di Negara bagian tersebut. Oleh begitu besarnya pengaruh perikanan tersebut, maka diperlukan kajian untuk melihat tingkat efesiensi alokasi dari input-input dalam pengambilan keputusan dengan menggunakan decision-making unit (DMU) atas armada perikanan tersebut dengan tingkat harga tertentu pada output yang diharapkan untuk meminimalisasi biaya-biaya produksi. Hasil kajiannya dibuatkan dalam bentuk persentasi yang paling dalam meminimalisasi biaya yang berkaitan dengan efesiensi teknis utama dan alokasi sumberdaya.
Data dikumpulkan pada 15 kapal pukat cincin yang beroperasi dari bulan Juli 2009 hingga 2012 dengan jumlah trip secara keseluruhan adalah 300 kali. Setiap kapal dipertimbangkan sebagai suatu DMU. Informasi mengenai penangkapan ikan dan penggunaan input dikumpulkan dari para nahkoda kapal-kapal tersebut. Jumlah penangkapan ikan diambil sebagai variabel output dan variabel inputnya terdiri atas ukuran kapal (panjang dalam satuan kaki), bahan bakar (liter), jumlah kru kapal (jumlah) dan jumlah perjalanan (trip). Untuk menghitung efesiensi biaya, biaya-biaya input tersebut diperhitungkan dalam kajian tersebut. Selanjutnya, berdasarkan pada observasi di lapangan, armada penangkapan tersebut berukuran 60-78 kaki yang dipasangi dengan mesin-mesin yang dipasang di dalam kapal sebagai alat penggerak. Jumlah kru kapal rata-rata sebanyak 44 orang. Koefisien korelasi antara panjang kapal dan konsumsi bahan bakar adalah 0,09 dan dengan jumlah kru kapal adalah 0,13. Sedangkan koefisien korelasi antara jumlah bahan bakar yang digunakan dan jumlah kru kapal adalah 0,16.
Model DEA merupakan sebuah pendekatan penentuan, non-parametrik yang sifatnya digunakan untuk mengukur efesiensi. Pendekatan DEA dibangun menggunakan metode linear programming. Istilah envelopment diturunkan dari frontier produksi yang membungkus seperangkat observasi. Masing-masing DMU, input dan output yang diberikan diperhitungkan dan nilai skor efesiensi bagi DMU pertama dicapai, nilai yang ≤ 1, dengan nilai 1 mengindikasikan sebuah titik pada frontier. Oleh karena itu sebuah DMU efesien secara teknis.
Istilah ‘efesiensi’ merupakan kemampuan sebuah perusahaan untuk memperoleh output maksimum (minimum) input dari set input (output) yag ditentukan, dimana efesiensi biaya membutuhkan pencapaian biaya yang rendah mungkin, harga-harga saat ini yang diberikan dan output perusahaan. Rasio harga input dicerminkan oleh kemiringan iso-cost-line NN’ dan kurva garis yang menghubungkan titik-titik dari A sampai ke M DMUs merupakan garis paling luar. Konsep frontier sangat penting bagi analisis efesiensi karena mengukur efesiensi sebagai jarak relatif terhadap frotier. Selanjutnya, DMUs seperti B, D, G, I dan K yang secara teknis tidak efisien, mengoperasikan titik-tik dalam interior dari kawasan yang terbentuk, sementara DMUs yang secara efisien relatif mengoperasikan kira-kira sepanjang teknologi yang didefenisikan oleh frontier.


Sehingga setiap paket input sepanjang garis frontier dipertimbangkan secara efisiensi teknis. Sementara titik-titik di atas dan sebelah kanan dari frontier merupakan produsen yang secara teknis tidak efisien, contoh DMU menghasilkan jumlah output yang sama, namun dengan sejumlah besar dari kedua input. Sebagai contoh, pada titik G mengukur efesiensi radial yang mengidentifikasi dua titik G1 dan G2. Mendefenisikan ‘efesiensi teknis’, ‘efesiensi alokasi’ dan ‘efesiensi biaya’ masing-masing Interaksi antara kedua efesiensi teknis (TE) dan efesiensi alokasi (AE) tersebut, membentuk keseluruhan efesiensi ekonomi (EE), yang dihitung sebagai persamaan (1) berikut ini:

 
Setiap observasi memasukan satu output, contohnya total jumlah ikan yag tertangkap (Y) per perjalanan dalam kilogram. Dalam kategori input, enam variabel dimasukkan, dan variabel ini terdiri atas : panjang kapal (X1) dalam ukuran kaki, jumlah ABK (X2), jumlah hari perjalanan dalam menangkap (X3) dalam hari per trip, bahan bakar yang digunakan (X4) dalam liter, minyak tanah yang digunakan (X5) dalam liter dan jumlah pelumas (X6) dalam liter. Harga unit dari enam input tersebut juga digunakan dalam perhitungan fungsi biaya-DEA. Dengan pendekatan ini, model CRS digunakan pada data dengan orientasi input. Dalam model DEA berorientasi input, datanya adalah enam input (K) dan satu output (M) pada setiap N kapal penangkap ikan tersebut, setiap kapal penangkap ikan tersebut secara teknis disebut dengan suatu DMU. Menggunakan pendekatan program linier untuk menurunkan bentuk gabungan model DEA berorientasi input, efesiensi teknis diperoleh dengan persamaan (2):

dimana, θ merupakan sebuah scalar dan  merupakan sebuah konstrain fektor N x 1. Bentuk gabungan ini melibatkan beberapa konstrain dari pada bentuk ganda [(K+M)<(N+1)], nilai dari θ merupakan skor efesiensi bagi DMU ke-i. akan memuaskan bila θ≤1, dengan sebuah nilai 1 mengindikasikan sebuah titik pada bagian luar dan karena sebuah DMU efesien secara teknis, menurut defenisi Farrell (1957). Untuk menghitung efesiensi biaya, harga-harga dari enam jenis input tersebut digunakan untuk mengkaji tingkah laku objektif, seperti minimalisasi biaya atau maksimalisasi keuntungan. Bentuk matematika dari minimalisasi biaya DEA ditampilkan dalam persamaan (3) yang dapat digunakan:




dimana wi merupakan vector harga-harga input bagi DMU ke-i dan xi* merupakan vector minimalisasi biaya dari jumlah input bagi DMU ke-I, diberikan harga input wi dan tingkat output yi. Total efesiensi biaya (CE) atau efesiensi ekonomi dari DMU ke-I dihitung dengan persamaan (4):


Itu merupakan rasio biaya minimum dan biaya yang dikaji. Penggunaan persamaan (1), efesiensi alokasi (AE) dapat dihitung dengan :
AE = CE/TE

Hasil penelitian menunjukkan bahwa koefisien elastitisitas harga bagi jumlah tangkapan (εp) adalah 0.38. Nilai ini lebih besar dari pada nol dan kurang dari sau, yang berarti bahwa respon harga terhadap ketersediaan ikan adalah kurang elastis. Penurunan garis kecenderungan linier mirip dengan sebuah kurva jenis permintaan contohnya jumlah tangkapan ikan yang berkebalikan terhadap harganya (seperti dalam persamaan 5).

Q = 2531.9 – 45.907 (P)……………….. (5)

Biaya operasional dari pengoperasioan kapal purseine di lepas pelabuhan Munambah yang tersusun atas R 17.757 dimana biaya bahan bakar adalah 68 persen dan termasuk biaya solar, minyak tanah dan pelumas yang mendekati R 12000 per operasi penangkapan. Setelah dikurangi biaya operasi dari nilai gross alat tangkap tersebut, nilai bersih dari penangkapan ikan diperoleh. Pembagian upah normal yang dikaji dalam sektor kapal pursseine  diantara tenaga kerja dan pemilik kapal adalah 40:60. Berdasarkan pada rasio ini, pemilik kapal menerima R5700, dimana bagi hasil tenaga kerja adalah R 4500 per trip. Nilai tersebut dibagi oleh sekitar 40 anggota tenaga kerja dari kapal tersebut dan selanjutnya bagi hasil tersebut bagi setiap anggota tenaga kerja sangat rendah.
Analisis menunjukkan bahwa rata-rata tingkat efesiensi teknis (θ) kapal purseine yang beroperasi di lepas pesisir pantai Munambam adalah 0.53, yang berarti bahwa, rata-rata kapal purseine tersebut menangkap ikan sekitar 53 persen. Dari tingkat potensi produksi perbatasan pada keadaan teknologi saat ini dan tingkat-tingkat input. Mengindikasikan bahwa kapal-kapal tersebut seharusnya dapat menurunkan input-inputnya sebesar 47 persen dan masih akan memiliki tingkat produksi yang sama. Kapal-kapal tersebut secara komparatif menggunakan banyak input daripada yang seharusnya termasuk ukuran kapal, jumlah tenaga kerja (ABK), bahan bakar, dan lain-lain dalam kaitannya dengan kuantitas tangkapan (produksi).
Skor efesiensi teknis individual DMUs berkisar dari 0.17 sampai 1 dan 3 DMUs memiliki suatu skor TE setara dengan 1. Efesiensi alokasi berkaitan dengan alokasi input vis-à-vis dengan harganya, sehingga untuk meminimalkan biaya produksi, dan berada sekitar 76 persen dari keseluruhan, dengan efesiensi individual berkisar dari 25 persen sampai 100 persen. Efesiensi biaya berkisar dari 15 persen sampai 100 persen bagi individu DMUs. Para pengambil kebijakan dapat memainkan peran penting dalam meningkatkan skala ekonomi dan mengembangkan keahlian tenaga kerja yang akan mengarah kepada tingkat efesiensi yang lebih tinggi diantara kapal penangkap ikan purseine yang digunakan di pesisir pantai Munambam.
Salah satu ukuran penting dari efesiensi adalah efesiensi biaya (CE). Secara normal, nilai CE sebanding dengan atau kurang dari 1. Hasil-hasil tersebut mengungkapkan bahwa keseluruhan efesiensi biaya sekitar 0.40 \yang kurang dari 1. Ini mengindikasikan terlalu banyak input yang digunakan dalam pengoperasian kapal penangkap ikan purseine di lepas pantai pesisir Munambam dan juga kesalahan alokasi sejumlah campuran input dalam kaitannya dengan biaya input. Menyarankan bahwa efesiensi jangka panjang dapat ditingkatkan melalui pengelolaan alokasi sumberdaya yang sesuai. Tiga DMUs (individual kapal pukat cincin) telah menunjukkan lebih dari 50 persen efisiensi biaya dan utamanya DMU ke-I titik ideal merupakan salah satu DMU yang diobservasi dengan efesiensi biaya yang setara dengan 1.

Kesimpulan dari makalah ini menyatakan bahwa penggunaan sumberdaya dan pengawasan penggunaan input yang berkaitan dengan keperluan bagi peningkatan efesiensi penggunaan sumberdaya yang tinggi, keadaan-keadaan praktis dipelajari bahwa sumberdaya produktif atau input secara umum digunakan secara optimal mungkin, tergantung pada faktor-faktor seperti kompetisi dalam sektor tersebut dan ketersediaan sumberdaya. Para nelayan cenderung menggerakkan alat tangkap dan kapal yang lebih besar dan penggunaan tenaga yang lebih besar untuk meningkatkan kompetisi. Dalam jangka panjang cenderung menjadi tidak ekonomis dan mungkin saja berdampak kerugian. Aspek keberlanjutan jangka panjang harus dipikirkan bagi pembuatan keputusan tersebut dan kemudian kebutuhan untuk alokasi sumberdaya secara efektif. Dasar asumsi dalam DEA merupakan efesiensi ini dalam pengalokasian sumberdaya.
DEA telah mengungkapkan bahwa ketidakefisienan teknis yang ada dari 47 persen dalam penggunaan input. Ini berarti bahwa ada penggunaan yang berlebihan input dan dapat diturunkan untuk memperoleh tingkat maksimum output. Selanjutnya, ada ketidakefisienan alokasi yang dihitung dalam biaya input sekitar 24 persen dan ini dapat juga diturunkan untuk memperoleh keuntungan dengan meminimalisasi biaya tersebut. Dua ketidakefisienan ini harus dikoreksi untuk memperoleh 100 persen keseluruhan efisiensi dari alat tangkap purseine dalam DMUs. Kemudian keseluruhan efesiensi ekonomi dari alat tangkap tersebut adalah 40 persen. Kajian ini mengindikasikan bahwa upaya optimal hampir dua kali lipat yang sedang digunakan dengan pengoperasian kapal purseine di lepas pesisir pantai Munambam yang akan tidak ekonomis atau tidak layak dalam jangka panjang. Monitoring dan pengelolaan dapat mengarah kepada penggunaan input  yang lebih baik bahkan dengan memperoleh tingkat produksi yang sekarang, dibandingkan dengan biaya bahan bakar sendiri yang membentuk 68 persen dari keseluruhan biaya operasional, karena penggunaan mesin-mesin bertenaga tinggi dan peningkatan biaya-biaya bahan bakar.

Pendapat

Pemanfaatan sumberdaya perikanan khususnya sumberdaya perikanan tangkap merupakan sumberdaya yang membutuhkan penggunaan teknologi dalam menggunakan sumberdaya tersebut agar dapat menggerakkan ekonomi baik kepada maupun kepada kegiatan ekonomi turunannya yang melibatkan berbagai sumberdaya. Dalam pemanfaatan sumberdaya tersebut, membutuhkan berbagai input produksi tergantung pada seberapa besar alat tangkap yang digunakan dan jumlah hasil tangkapan ataupun output yang diharapkan. Input-input produksi tersebut memberikan pengaruh terhadap biaya produksi dan tingkat keuntungan (benefit) atas armada yang beroperasi. Makalah yang ditulis oleh Chandrasekar and Gopal (2015) telah menggambarkan penggunaan input-input produksi dengan jumlah biaya tertentu memberikan pengaruh terhadap hasil atau output yang diharapkan dengan menggunakan metode perbandingan antara masing-masing input yang menjadi kajiannya. Contoh yang diberikan sangat sesuai dalam melihat seberapa besar perbandingan antara perbandingan input dengan hasil yang diharapkan. Terakhir, bahwa dengan mengetahui perbandingan input yang sesuai akan menghasilkan tingkat output yang lebih relevan dalam memanfaatkan sumberdya sehingga menciptakan tingkat efesiensi yang optimum bagi parusahaan. 

Jumlah perbandingan antara input dengan tingkat output yang diharapkan akan menghasilkan pemanfaatan yang optimum dalam menggunakan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia maupun sumberdaya teknologi yang dibutuhkan dalam menggerakkan produksi suatu kegiatan ekonomi khususnya di sektor perikanan dan kelautan. Jumlah input yang diberikan sesuai dengan ketersediaan biaya atau investasi yang dialokasikan untuk menggerakkan kegiatan ekonomi tersebut. Seorang manager di sektor pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut harus mampu menunjukkan keahlian dalam menciptakan penggunaan sumberdaya yang maksimum dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir berdasarkan pada pemanfaatan sumberdaya yang sesuai.