Sejarah Singkat Pulau Tomia
Tarian Perang Anak-Anak Pulau Tomia
Sumber ( http://wiranurmansyah.com/postcards-from-wakatobi)
“Wakatobi adalah pulau Nano-nano,” begitulah kata Ir. Hugua,
orang nomor satu di kabupaten ini. Kata ‘Nano- nano’ membawaku pada
kenangan masa kecilku tentang permen lolly pop yang rasanya manis, asam,
asin itu. Khayalan liarku pun mencoba menangkap maksud beliau. Manis.
Mungkin maksudnya adalah orang Wakatobi semuanya manis-manis. Asam. Di
daratan Wakatobi banyak ditumbuhi pohon Asam. Dan asin. Wakatobi
dikelilingi oleh laut dan teluk, yang tentunya rasa air laut dan teluk
itu asin. Juga di Wakatobi banyak memproduksi ikan asin. Itulah menurut
versi saya, bagaimana dengan Anda? Bingung? Mari kita lanjutkan lagi
perjalanan. Nano-nano sebenarnya adalah simbol keragaman rasa dan
budaya. Salah satu keragaman itu adalah sejarah asal-muasal pulau-pulau
yang ada di kabupaten ini. Salah satunya adalah sejarah Pulau Tomia.
Tomia adalah salah satu pulau yang ada di
Kabupaten Wakatobi, memiliki 2 kecamatan dan 15 desa. Kecamatan Tomia
Barat (Tomia Induk) berpusat di Waha dan Kecamatan Tomia Timur berpusat
di Usuku. Kecamatan Tomia Timur merupakan pemekaran dari Tomia Induk tak
lama setelah pemekaran Wakatobi sebagai kabupaten di Tahun 2003.
Menelusuri sejarah Tomia cukup menyulitkan saya karena tidak adanya
sumber tertulis yang bisa dijadikan acuan. Kerumitan lain adalah
perbedaan kisah antara narasumber yang satu dengan yang lain sehingga
saya tak bisa menentukan manakah cerita yang sebenarnya.
Dikisahkan dahulu kala, Tomia masih berupa pulau tanpa nama,tanpa
penghuni. Suatu hari, ada seorang pemuda bernama Sipanyong. Ia pedagang
asal Tobelo, Maluku Utara. Ia hendak berlayar dari negerinya menuju
Ambon menggunakan perahu kecil seorang diri. Dalam perjalanan, ia
dihantam badai besar hingga perahunya porak-poranda. Beruntung masih ada
puing-puing perahu yang dipakainya untuk berakit-rakit hingga mencapai
karang Korumaha di Pulau Tomia. Korumaha terletak di pantai Desa Kulati.
Sesampainya di Korumahaa menoleh ke arah kiri, kanan, muka dan belakang
namun tak ada orang. Sipanyong pun melanjutkan perjalanan asingnya ke
daratan pulau tak bertuan itu. Ia menemukan sebuah gunung dan
beristirahatlah dia di sana.
Beberapa saat kemudian ia mulai merasa lapar. Dicarilah ubi-ubian, sayur
Rumbe, terung dan cabe sebagai pengisi perutnya. Dalam sejarah kemudian
Sipanyong disebut-sebut sebagai orang yang pertami kali menemukan dan
menginjakkan kakinya di Pulau Tomia. Beda pula yang diungkapkan oleh
Haji Nuraeni, seorang tokoh adat juga pensiunan guru berusia 79 tahun.
Menurutnya orang yang pertama kali menginjakkan kakinya di Tomia adalah
Timbarado, seorang pedagang berasal dari Timor-Timor.
Dalam keterasingannya di
pulau tak bertuan itu, tiba-tiba ia melihat sebuah perahu yang mendekat
dari arah Selatan. Sipanyong penasaran dengan perahu asing tersebut.
Maka pergilah ia menuju tanjung, tempat dimana perahu asing itu
berlabuh. Tanjung tersebut akhirnya diberi nama Ou Polio karena
Sipanyong pergi menjemput tamu asing tersebut. Yang dalam bahasa Maluku
Utara Polio artinya menjemput, dan Ou dalam Bahasa Tomia artinya
tanjung. Kemudian keluarlah seorang pemuda gagah dari dalam perahu
tersebut. Pemuda itu bernama Timbarado. Ia seorang pedagang asal Jawa
Timur yang sedang melakukan pelayaran dagang bersama istrinya. Saat itu
istrinya disembunyikan di bawah palka perahu dengan dalih takut direbut
oleh seorang pria asing yaitu Sipanyong. Kedua pemuda itupun saling
berkenalan. Dan Sipanyong mengajak Timbarado ke gunung tempat
peristirahatann ya. Akhirnya gunung tersebut diberi nama Koa. Disebut Koa artinya persahabatan.
Dalam istirahatnya di Gunung Koa, Timbarado mengkhawatirkan istrinya
seorang diri di perahu. Otak pun diputar akal dicari. Tatkala dalam
sebuah kesempatan, Timbarado ditugaskan oleh Sipanyong untuk mencari
ikan di laut. Sedangkan Sipanyong mencari ubi-ubian untuk makan malam di
hutan. Timbarado pun melihat kima (kerang besar) dan pura-pura terkejut
bahwa ia melihat seorang wanita cantik yang muncul dari dalam kima. Ia
pun berteriak kegirangan dan memanggil Sipanyong untuk menyaksikan
peristiwa yang direkayasanya itu. Karena kaget bercampul jengkel pada
Timbarado ,Sipanyong berteriak “Tiroau!!!”. Dalam bahasa Tobelo kata
Tiroau merupakan sejenis caci makian. Maka tempat dimana Sipanyong
mengambil ubi saat itu diberi nama Tiroau. Konon tempat itu sekarang
menjadi sebuah desa, yaitu Desa Tiroau. Adalah satu-satunya desa di
Tomia yang menampung pengungsi terbanyak pada Kerusuhan Ambon tahun 1999
silam. Di desa inilah tempat tinggal penulis. Layaknya pemuda yang
masih lugu, Sipanyong pun percaya mentah-mentah pada kawannya itu.
Diajaklah wanita ajaib itu menuju Gunung Koa. Timbarado diberi tempat
tinggal khusus bersama wanita temuannya itu di Gunung Koa fofine( Gunung
Koa perempuan). Sedangkan Sipanyong tinggal sendirian di Gunung Koa
moane( Gunung Koa laki-laki). Wanita itu bernama Sitinya.
Beberapa bulan kemudian Sitinya hamil dan melahirkan anak
perempuan bernama Padatimu. Waktu bergulir dengan cepat dan Padatimu pun
tumbuh menjadi gadis cantik dan akhirnya dinikahi oleh Sipanyong.
Keturunan Sipanyong dan Padatimu inilah kemudian berkembang menjadi asal
muasal penduduk Tomia. Karena kian hari jumlah manusia semakin banyak
sehingga dibagilah Tomia menjadi dua kawasan yaitu Kawati Timu ( Kawasan
Timur) yang berpusat di Koa dan Kawati Waha( Kawasan Barat) yang
berpusat di Fumbu Komba-Komba di bawah pemerintahan seorang pati atau
raja yaitu Raja Sipanyong.
Berkuasalah Sipanyong di pulau tak bernama itu. Tersohorlah nama
Sipanyong sampai ke negerinya, Tobelo. Hingga berita itu sampai ke
telinga Raja Tobelo. Raja Tobelo menjadi sirik dan mengutus gerombolan
pasukan yang bernama Kasawari atau Sanggila dengan misi untuk menculik
warga keturunan Tobelo yang ada di Tomia. Ketika sampai di laut Tomia
mereka melihat ada cahaya putih di atas gunung. Refleks salah satu dari
gerombolan itu berteriak “Te mia” yang artinya ‘itu orang’. Akhirnya
pulau itu diberi nama Tomia. Dan konon cahaya putih itu adalah sebuah
batu yang tampak seperti manusia jika dilihat dari jauh. Sayangnya, batu
itu tidak lagi nampak seperti bentuk tubuh manusia karena sudah
ditumbuhi pohon beringin besar.
Tibalah gerombolan pengacau itu di Tomia. Penduduk Tomia pun lari
bersembunyi dalam benteng. Saat itu pengacau berhasil menangkap seorang
gadis saja yang sedang mencari ramu-ramuan untuk bedak. Nama gadis itu
Wa Kastela. Gadis itu pun akhirnya ditawan dan dibawa ke Tobelo.
Kedatangan gerombolan pengacau itu kemudian menjadi cikal bakal pembangunan benteng-benteng pertahanan di Tomia. Benteng-benteng itu
ada lima, diurut berdasarkan usianya yaitu Benteng Suwia, Odho, Rambi
Randa, Fumbu Komba-Komba dan Patua. Dari kelima benteng di atas, hanya
Suwia dan Odho yang dibangun sebelum masuknya Islam di Tomia sehingga ia
masih berasitektur Hindu. Sedangkan tiga benteng berikutnya dibangun
setelah masuknya Islam. Sayangnya, dari kelima benteng ini, baru Patua
yang mendapat perhatian dari pemda Wakatobi dengan diadakannya Festival
Patua pada 13 Agustus 2013 lalu. Akses transportasi ke benteng ini pun
mudah dan lancar. Sedangkan empat benteng lain dalam kondisi tertutup
hutan dan semak belukar.
Kisah berbeda dituturkan oleh Haji Aeni bahwa Timbarado adalah orang
yang pertama kali menginjakkan kakinya di Tomia. Cerita bermula dari
pemuda asal Timor-Timor itu, meninggalkan kampung halamannya untuk
mencari Raja Wolio di Buton yang terkenal kesaktiannya. Di tengah
perjalanan antara Tomia dan Timor-Timor ia bertemu segerombolan pengacau
yang disebut Sanggila. Gerombolan Sanggila itu ada yang berasal dari
Tobelo dan sebagiannya lagi berasal dari Mindanao (Manila). Mereka pun
mengajak Timbarado untuk bersahabat dan mereka sama-sama melakukan
pelayaran ke Tobelo. Tiba di Tobelo, Timbarado tak tinggal diam. Iapun
kembali berlayar ke Buton untuk bertemu Raja Wolio. Dalam perjalanan nya
dihadang badai hingga akhirnya ia terdampar di Tomia. Sehingga ialah
yang pertama kali menemukan Pulau Tomia. Beberapa hari kemudian
datanglah Tope dan Sipanyo beserta istrinya Sitinya dengan perahu
kecil.
Tope dan Sipanyo juga adalah pemuda asal Timor-Timor. Sedangkan
Sitinya adalah wanita asal Tobelo yang dinikahi Sipanyo pada saat
persinggahannya beberapa hari di
Tobelo. Bermukimlah mereka bersama-sama Timbarado di Gunung Koa. Tak
lama kemudian lahirlah Padatimu anak dari buah perkawinan Sipanyo dan
Sitinya. Setelah anak itu tumbuh menjadi dewasa dinikahilah oleh
Timbarado. Selang beberapa tahun kemudian antara Sipanyong dan Timbarado
bertengkar soal hak kepemilikan tanah di pulau itu. Timbarado mengaku
bahwa ialah penemu Pulau Tomia dan ia yang berhak memiliki tanah-tanah
di pulau tersebut. Sipanyo bersikeras dan mengklaim bahwa dialah pemilik
tanah Tomia. Pertengkaran antara mertua dan menantu itu berakhir
tragis. Dengan tangannya sendiri Timbarado membunuh Sipanyo. Bahkan ada
versi lain lagi yang menyebutkan bahwa orang pertama Tomia berasal dari
Wolio, Buton. Wallahualam.
Sejarah Tomia hanya dituturkan dari mulut ke mulut, dari generasi
ke generasi. Sayangnya hingga kini belum ada yang membukukannya atau
meramunya menjadi semacam kisah-kisah dongeng atau sastra. Kisah yang
sudah Anda baca di atas dituturkan oleh dua generasi yang berbeda. Haji
Aeni berumur 79 tahun dan Hasan Djandi berumur 69 tahun. Merekapun
didongengkan oleh orang tua dan pendahulu-penda hulu
mereka.Tingkat daya ingat narasumber berpengaruh besar terhadap sejarah
yang dikisahkan. Juga dari siapa mereka mendengarnya dan keberadaan
bukti-bukti sejarahnya pun mempengaruhi kualitas kebenaran cerita. Usia
muda tidak menjamin kuatnya ingatan seseorang. Begitu juga sebaliknya
usia tua tidak selamanya lemah ingatan. Bagaimanapun kisahnya, Hasan
Djandi dan Aeni adalah tokoh sejarah dan adat yang diakui masyarakat
Tomia. Kini terserah dari masyarakat untuk menilai dan mencari
kebenarannya.
Tomia memiliki tanah tandus dan berbatu-batu. Oleh karena itu,
rata-rata masyarakatnya menanam singkong di atas batu. Selain itu,
luasnya juga tidak seberapa. Berkeliling dengan kendaraan bermotor hanya
membutuhkan waktu dua sampai tiga jam. Mayoritas penduduknya muslim.
Terdiri dari beragam suku, diantaranya suku Bajo, Bugis, Jawa, dan suku
Buton/ Wakatobi. Keelokan terumbu
karang dan kekayaan khazanah budayanya bisa memikat hati Anda. Tomia
juga dikenal karena memiliki potensi wisata ziarah berupa makam Encik
Sulaiman, seorang tokoh penyiar Islam putra dari Maulana Malik Ibrahim,
salah seorang wali yang makamnya ada di Kabupaten Gresik Jawa Timur.
Istri Encik Sulaiman bernama Singku Jalima. Makam Encik ini terletak di
depan Benteng Suo-Suo, di Desa Kahianga. Di Tomia, Encik biasa dikenal
dengan sebutan Sibatran atau Sibatara. “Makam itu sangat dihormati dan
sering diziarahi para calon jama’ah haji Tomia. Karena Encik Sulaiman
dianggap cukup berjasa sebagai penyiar agama Islam di sini,” kata Hasan
Djandi.
Narasumber:
Hasan Djandi, Mantan Kepala Desa Lagole dan tokoh adat( 1944-sekarang)
H. Aeni, pensiunan guru dan toko adat (1934-sekarang)
Oleh : Ima La Waru
This story was raised to be appearing in this brief narration by the author is based on a small ethographic research conducting in Lagole Village, Tomia Island on January 2014 of some schoolars namely (Asep Rahman, Marwan Upi, Nuriadin, and Wahid). Solute to those guys and hundred unforgotable thanks to the interviewees.
This article was firstly published by this link http://galampato.blogspot.co.id/2014/01/sejarah-tomia.html#more
on Thursday, January 30, 2014
Other stories of the island, you can find them on these links below:
http://www.cakgopar.com/2013/12/masuknya-islam-ke-pulau-tomia-wakatobi.html
http://galampato.blogspot.co.id/2014/04/karasi-si-manis-yang-masih-eksis.html
https://janganjalanjalan.com/2014/08/04/wakatobi-semalam-di-tomia/
http://lapatuju.blogspot.co.id/2013/05/sejarah-singkat-wakatobi.html
http://keluarga-tomia-dirantau.blogspot.co.id/2010/07/keliling-tomia-seri-ii.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar