Rabu, 05 Oktober 2016

Tomia, a brief Story and Perspectiveness


Sejarah Singkat Pulau Tomia

 

Image result for Pulau Tomia
Tarian Perang Anak-Anak Pulau Tomia
Sumber ( http://wiranurmansyah.com/postcards-from-wakatobi)

Wakatobi adalah pulau Nano-nano,” begitulah kata Ir. Hugua, orang nomor satu di kabupaten ini. Kata ‘Nano- nano’ membawaku pada kenangan masa kecilku tentang permen lolly pop yang rasanya manis, asam, asin itu. Khayalan liarku pun mencoba menangkap maksud beliau. Manis. Mungkin maksudnya adalah orang Wakatobi semuanya manis-manis. Asam. Di daratan Wakatobi banyak ditumbuhi pohon Asam. Dan asin. Wakatobi dikelilingi oleh laut dan teluk, yang tentunya rasa air laut dan teluk itu asin. Juga di Wakatobi banyak memproduksi ikan asin. Itulah menurut versi saya, bagaimana dengan Anda? Bingung? Mari kita lanjutkan lagi perjalanan. Nano-nano sebenarnya adalah simbol keragaman rasa dan budaya. Salah satu keragaman itu adalah sejarah asal-muasal pulau-pulau yang ada di kabupaten ini. Salah satunya adalah sejarah Pulau Tomia.
         Tomia adalah salah satu pulau yang ada di Kabupaten Wakatobi, memiliki 2 kecamatan dan 15 desa. Kecamatan Tomia Barat (Tomia Induk) berpusat di Waha dan Kecamatan Tomia Timur berpusat di Usuku. Kecamatan Tomia Timur merupakan pemekaran dari Tomia Induk tak lama setelah pemekaran Wakatobi sebagai kabupaten di Tahun 2003. Menelusuri sejarah Tomia cukup menyulitkan saya karena tidak adanya sumber tertulis yang bisa dijadikan acuan. Kerumitan lain adalah perbedaan kisah antara narasumber yang satu dengan yang lain sehingga saya tak bisa menentukan manakah cerita yang sebenarnya. 
     Dikisahkan dahulu kala, Tomia masih berupa pulau tanpa nama,tanpa penghuni. Suatu hari, ada seorang pemuda bernama Sipanyong. Ia pedagang asal Tobelo, Maluku Utara. Ia hendak berlayar dari negerinya menuju Ambon menggunakan perahu kecil seorang diri. Dalam perjalanan, ia dihantam badai besar hingga perahunya porak-poranda. Beruntung masih ada puing-puing perahu yang dipakainya untuk berakit-rakit hingga mencapai karang Korumaha di Pulau Tomia. Korumaha terletak di pantai Desa Kulati. Sesampainya di Korumahaa menoleh ke arah kiri, kanan, muka dan belakang namun tak ada orang. Sipanyong pun melanjutkan perjalanan asingnya ke daratan pulau tak bertuan itu. Ia menemukan sebuah gunung dan beristirahatlah dia di sana. Beberapa saat kemudian ia mulai merasa lapar. Dicarilah ubi-ubian, sayur Rumbe, terung dan cabe sebagai pengisi perutnya. Dalam sejarah kemudian Sipanyong disebut-sebut sebagai orang yang pertami kali menemukan dan menginjakkan kakinya di Pulau Tomia. Beda pula yang diungkapkan oleh Haji Nuraeni, seorang tokoh adat juga pensiunan guru berusia 79 tahun. Menurutnya orang yang pertama kali menginjakkan kakinya di Tomia adalah Timbarado, seorang pedagang berasal dari Timor-Timor.
      Dalam keterasingannya di pulau tak bertuan itu, tiba-tiba ia melihat sebuah perahu yang mendekat dari arah Selatan. Sipanyong penasaran dengan perahu asing tersebut. Maka pergilah ia menuju tanjung, tempat dimana perahu asing itu berlabuh. Tanjung tersebut akhirnya diberi nama Ou Polio karena Sipanyong pergi menjemput tamu asing tersebut. Yang dalam bahasa Maluku Utara Polio artinya menjemput, dan Ou dalam Bahasa Tomia artinya tanjung. Kemudian keluarlah seorang pemuda gagah dari dalam perahu tersebut. Pemuda itu bernama Timbarado. Ia seorang pedagang asal Jawa Timur yang sedang melakukan pelayaran dagang bersama istrinya. Saat itu istrinya disembunyikan di bawah palka perahu dengan dalih takut direbut oleh seorang pria asing yaitu Sipanyong. Kedua pemuda itupun saling berkenalan. Dan Sipanyong mengajak Timbarado ke gunung tempat peristirahatannya. Akhirnya gunung tersebut diberi nama Koa. Disebut Koa artinya persahabatan. 
     Dalam istirahatnya di Gunung Koa, Timbarado mengkhawatirkan istrinya seorang diri di perahu. Otak pun diputar akal dicari. Tatkala dalam sebuah kesempatan, Timbarado ditugaskan oleh Sipanyong untuk mencari ikan di laut. Sedangkan Sipanyong mencari ubi-ubian untuk makan malam di hutan. Timbarado pun melihat kima (kerang besar) dan pura-pura terkejut bahwa ia melihat seorang wanita cantik yang muncul dari dalam kima. Ia pun berteriak kegirangan dan memanggil Sipanyong untuk menyaksikan peristiwa yang direkayasanya itu. Karena kaget bercampul jengkel pada Timbarado ,Sipanyong berteriak “Tiroau!!!”. Dalam bahasa Tobelo kata Tiroau merupakan sejenis caci makian. Maka tempat dimana Sipanyong mengambil ubi saat itu diberi nama Tiroau. Konon tempat itu sekarang menjadi sebuah desa, yaitu Desa Tiroau. Adalah satu-satunya desa di Tomia yang menampung pengungsi terbanyak pada Kerusuhan Ambon tahun 1999 silam. Di desa inilah tempat tinggal penulis. Layaknya pemuda yang masih lugu, Sipanyong pun percaya mentah-mentah pada kawannya itu. Diajaklah wanita ajaib itu menuju Gunung Koa. Timbarado diberi tempat tinggal khusus bersama wanita temuannya itu di Gunung Koa fofine( Gunung Koa perempuan). Sedangkan Sipanyong tinggal sendirian di Gunung Koa moane( Gunung Koa laki-laki). Wanita itu bernama Sitinya. 
      Beberapa bulan kemudian Sitinya hamil dan melahirkan anak perempuan bernama Padatimu. Waktu bergulir dengan cepat dan Padatimu pun tumbuh menjadi gadis cantik dan akhirnya dinikahi oleh Sipanyong. Keturunan Sipanyong dan Padatimu inilah kemudian berkembang menjadi asal muasal penduduk Tomia. Karena kian hari jumlah manusia semakin banyak sehingga dibagilah Tomia menjadi dua kawasan yaitu Kawati Timu ( Kawasan Timur) yang berpusat di Koa dan Kawati Waha( Kawasan Barat) yang berpusat di Fumbu Komba-Komba di bawah pemerintahan seorang pati atau raja yaitu Raja Sipanyong.
    Berkuasalah Sipanyong di pulau tak bernama itu. Tersohorlah nama Sipanyong sampai ke negerinya, Tobelo. Hingga berita itu sampai ke telinga Raja Tobelo. Raja Tobelo menjadi sirik dan mengutus gerombolan pasukan yang bernama Kasawari atau Sanggila dengan misi untuk menculik warga keturunan Tobelo yang ada di Tomia. Ketika sampai di laut Tomia mereka melihat ada cahaya putih di atas gunung. Refleks salah satu dari gerombolan itu berteriak “Te mia” yang artinya ‘itu orang’. Akhirnya pulau itu diberi nama Tomia. Dan konon cahaya putih itu adalah sebuah batu yang tampak seperti manusia jika dilihat dari jauh. Sayangnya, batu itu tidak lagi nampak seperti bentuk tubuh manusia karena sudah ditumbuhi pohon beringin besar. 
       Tibalah gerombolan pengacau itu di Tomia. Penduduk Tomia pun lari bersembunyi dalam benteng. Saat itu pengacau berhasil menangkap seorang gadis saja yang sedang mencari ramu-ramuan untuk bedak. Nama gadis itu Wa Kastela. Gadis itu pun akhirnya ditawan dan dibawa ke Tobelo.
Kedatangan gerombolan pengacau itu kemudian menjadi cikal bakal pembangunan benteng-benteng pertahanan di Tomia. Benteng-benteng itu ada lima, diurut berdasarkan usianya yaitu Benteng Suwia, Odho, Rambi Randa, Fumbu Komba-Komba dan Patua. Dari kelima benteng di atas, hanya Suwia dan Odho yang dibangun sebelum masuknya Islam di Tomia sehingga ia masih berasitektur Hindu. Sedangkan tiga benteng berikutnya dibangun setelah masuknya Islam. Sayangnya, dari kelima benteng ini, baru Patua yang mendapat perhatian dari pemda Wakatobi dengan diadakannya Festival Patua pada 13 Agustus 2013 lalu. Akses transportasi ke benteng ini pun mudah dan lancar. Sedangkan empat benteng lain dalam kondisi tertutup hutan dan semak belukar. 
    Kisah berbeda dituturkan oleh Haji Aeni bahwa Timbarado adalah orang yang pertama kali menginjakkan kakinya di Tomia. Cerita bermula dari pemuda asal Timor-Timor itu, meninggalkan kampung halamannya untuk mencari Raja Wolio di Buton yang terkenal kesaktiannya. Di tengah perjalanan antara Tomia dan Timor-Timor ia bertemu segerombolan pengacau yang disebut Sanggila. Gerombolan Sanggila itu ada yang berasal dari Tobelo dan sebagiannya lagi berasal dari Mindanao (Manila). Mereka pun mengajak Timbarado untuk bersahabat dan mereka sama-sama melakukan pelayaran ke Tobelo. Tiba di Tobelo, Timbarado tak tinggal diam. Iapun kembali berlayar ke Buton untuk bertemu Raja Wolio. Dalam perjalanan nya dihadang badai hingga akhirnya ia terdampar di Tomia. Sehingga ialah yang pertama kali menemukan Pulau Tomia. Beberapa hari kemudian datanglah Tope dan Sipanyo beserta istrinya Sitinya dengan perahu kecil. 
     Tope dan Sipanyo juga adalah pemuda asal Timor-Timor. Sedangkan Sitinya adalah wanita asal Tobelo yang dinikahi Sipanyo pada saat persinggahannya beberapa hari di Tobelo. Bermukimlah mereka bersama-sama Timbarado di Gunung Koa. Tak lama kemudian lahirlah Padatimu anak dari buah perkawinan Sipanyo dan Sitinya. Setelah anak itu tumbuh menjadi dewasa dinikahilah oleh Timbarado. Selang beberapa tahun kemudian antara Sipanyong dan Timbarado bertengkar soal hak kepemilikan tanah di pulau itu. Timbarado mengaku bahwa ialah penemu Pulau Tomia dan ia yang berhak memiliki tanah-tanah di pulau tersebut. Sipanyo bersikeras dan mengklaim bahwa dialah pemilik tanah Tomia. Pertengkaran antara mertua dan menantu itu berakhir tragis. Dengan tangannya sendiri Timbarado membunuh Sipanyo. Bahkan ada versi lain lagi yang menyebutkan bahwa orang pertama Tomia berasal dari Wolio, Buton. Wallahualam.
      Sejarah Tomia hanya dituturkan dari mulut ke mulut, dari generasi ke generasi. Sayangnya hingga kini belum ada yang membukukannya atau meramunya menjadi semacam kisah-kisah dongeng atau sastra. Kisah yang sudah Anda baca di atas dituturkan oleh dua generasi yang berbeda. Haji Aeni berumur 79 tahun dan Hasan Djandi berumur 69 tahun. Merekapun didongengkan oleh orang tua dan pendahulu-pendahulu mereka.Tingkat daya ingat narasumber berpengaruh besar terhadap sejarah yang dikisahkan. Juga dari siapa mereka mendengarnya dan keberadaan bukti-bukti sejarahnya pun mempengaruhi kualitas kebenaran cerita. Usia muda tidak menjamin kuatnya ingatan seseorang. Begitu juga sebaliknya usia tua tidak selamanya lemah ingatan. Bagaimanapun kisahnya, Hasan Djandi dan Aeni adalah tokoh sejarah dan adat yang diakui masyarakat Tomia. Kini terserah dari masyarakat untuk menilai dan mencari kebenarannya.
      Tomia memiliki tanah tandus dan berbatu-batu. Oleh karena itu, rata-rata masyarakatnya menanam singkong di atas batu. Selain itu, luasnya juga tidak seberapa. Berkeliling dengan kendaraan bermotor hanya membutuhkan waktu dua sampai tiga jam. Mayoritas penduduknya muslim. Terdiri dari beragam suku, diantaranya suku Bajo, Bugis, Jawa, dan suku Buton/Wakatobi. Keelokan terumbu karang dan kekayaan khazanah budayanya bisa memikat hati Anda. Tomia juga dikenal karena memiliki potensi wisata ziarah berupa makam Encik Sulaiman, seorang tokoh penyiar Islam putra dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang wali yang makamnya ada di Kabupaten Gresik Jawa Timur. Istri Encik Sulaiman bernama Singku Jalima. Makam Encik ini terletak di depan Benteng Suo-Suo, di Desa Kahianga. Di Tomia, Encik biasa dikenal dengan sebutan Sibatran atau Sibatara. “Makam itu sangat dihormati dan sering diziarahi para calon jama’ah haji Tomia. Karena Encik Sulaiman dianggap cukup berjasa sebagai penyiar agama Islam di sini,” kata Hasan Djandi.
Narasumber:
Hasan Djandi, Mantan Kepala Desa Lagole dan tokoh adat( 1944-sekarang)
H. Aeni, pensiunan guru dan toko adat (1934-sekarang)
 
Oleh : Ima La Waru
This story was raised to be appearing in this brief narration by the author is based on a small ethographic research conducting in Lagole Village, Tomia Island on January 2014 of some schoolars namely (Asep Rahman, Marwan Upi, Nuriadin, and Wahid). Solute to those guys and hundred unforgotable thanks to the interviewees.

This article was firstly published by this link http://galampato.blogspot.co.id/2014/01/sejarah-tomia.html#more
on Thursday, January 30, 2014

Other stories of the island, you can find them on these links below:

http://www.cakgopar.com/2013/12/masuknya-islam-ke-pulau-tomia-wakatobi.html
http://galampato.blogspot.co.id/2014/04/karasi-si-manis-yang-masih-eksis.html
https://janganjalanjalan.com/2014/08/04/wakatobi-semalam-di-tomia/
http://lapatuju.blogspot.co.id/2013/05/sejarah-singkat-wakatobi.html
http://keluarga-tomia-dirantau.blogspot.co.id/2010/07/keliling-tomia-seri-ii.html

Tidak ada komentar: