A Counter Article for
Maximum Economic Yield Sumberdaya Perikanan Kerapu
Oleh:
La Ode Wahidin
Program
Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika
Fakultas
Ekonomi dan Manajemen
Sekolah
Pascasarjana
Institut
Pertanian Bogor
Dramaga
2016
A. Pendahuluan
Ikan sebagai sumberdaya yang dapat diperbaharui
sesungguhnya memiliki sifat yang terbatas. Pada daerah-daerah dengan pemanfaatan
yang masih rendah atau belum termanfaatkan sama sekali sesungguhnya stok ikan
dapat berada pada batas yang mampu dibendung oleh lingkungannya. Ikan di alam
beranekaragam dengan jumlah populasi yang beragam pula. Dikenal dua jenis ikan
yaitu ikan pelagis dan ikan demersal. Ikan pelagis merupakan ikan yang beruaya
/terdistribusi diantara permukaan air dan kolom perairan, sedangkan ikan
demersal merupakan ikan yang berada di daerah dasar perairan. Kedua jenis ikan
ini terdiri atas berbagai famili dan spesies penyusunnya.
Sebagai ikan demersal, sumberdaya ikan karang merupakan
komoditi yang sangat berharga bila dilihat dari sisi ekonomi dan juga sebagai komponen
terumbu karang yang sehat. Permintaan terhadap ikan karang baik untuk konsumsi
maupun ikan hias melonjak tajam, sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk dan
perubahan gaya hidup masyarakat. Sedangkan di sisi lain, kondisi terumbu karang
sebagai rumahnya juga terus mengalami penurunan kualitas sehingga menyebabkan sumberdaya
ini terus mengalami penurunan di alam. Ikan kerapu yang merupakan spesies ikan
karang ekonomis penting terus mengalami peningkatan permintaan sepanjang tahun
dan mulai menyebabkan komoditas ikan ini mengalami gejala penangkapan yang
berlebih (over fishing) di habitat aslinya
di Indonesia. Permintaan yang paling besar datangnya dari Tiongkok dimana
dijadikan sebagai makanan favorit pada hari-hari besar tertentu. Di sisi lain, laju
pertumbuhan ikan kerapu terbilang lambat dibandingkan dengan ikan-ikan demersal
lainnya, sehingga bila dilakukan penangkapan secara terus-menerus maka
sumberdaya ini secara alamiah akan menurun populasinya. Adanya permintaan oleh
pasar yang besar dan tidak adanya kontrol terhadap pengelolaan sumberdaya ikan
ini secara benar dan aplikatif maka dalam jangka panjang sumberdaya ini akan
semakin sedikit pada daerah-daerah penangkapannya secara masif.
Kepulauan Seribu, DKI Jakarta telah menjadi pemasok
ikan kerapu dalam jangka waktu yang lama kepada pasar-pasar lokal dan
internasional, khususnya Hongkong. Penelitian yang dilakukan oleh Sari, et al (2008) mengenai sumberdaya
perikanan kerapu di Kepulauan Seribu dengan pendekatan hasil ekonomi maksimum (maximum economic yield) menunjukkan kegiatan
penangkapan berlebih (over fishing). Pengkajian
keadaan sumberdaya perikanan kerapu tersebut digunakan dengan model surplus
produksi yang disesuikan dengan model pertumbuhan logistic yang dikemukakan
oleh Schaefer 1954. Pendekatan model ini diturunkan dari rente ekonomi sumberdaya
tersebut.
Berdasarkan gambaran tersebut, maka makalah ini
berusaha untuk mengulas jurnal yang ditulis oleh Sari, et al (2008) tersebut dan
dikaitkan dengan kajian-kajian yang sejenisnya serta bagaimana peran dari penelitian
sejenis tersebut dalam mempengaruhi kebijakan terhadap pelestarian sumberdaya
ini di masa yang akan datang.
B. Permasalahan
Permintaan pasar terhadap ikan kerapu yang
ditangkap secara alamiah di alam menyebabkan sumberdaya ini diburu secara berlebihan
di habitat aslinya, sedangkan ketersediaan sumberdaya ini dengan metode
budidaya belum mampu untuk menjawab kebutuhan pasar yang semakin bertumbuh. Harga
jual yang tinggi dan tidak adanya kajian secara berkesinambungan (series research) serta kebijakan yang
mengatur pengelolaan sumberdaya ini dengan bijak merupakan beberapa faktor-faktor
yang berpengaruh penting dalam keberlanjutan sumberdaya ini di masa yang akan
datang. Penelitian yang dilakukan oleh Sari, et al (2008) mengenai sumberdaya kerapu di Kepulauan Seribu dengan
pendekatan model surplus produsen merupakan langkah nyata dalam memberikan ruang
terhadap ketersediaan data yang menjadi basis pengambilan keputusan bagi
kebijakan pengelolaan sumberdaya ini, khususnya di Kepulauan Seribu. Dengan
demikian, maka pertanyaan mendasar yang terbangun dalam makalah ini adalah (1) model
apa yang dikembangkan dalam makalah ini? (2) Bagaimana pengolahan dan penyajian
datanya? (3) Bagaimana proses penarikan kesimpulannya?
(4) Bagaiman seharusnya agar penelitian-penelitian yang serupa dapat
diduplikasian di bagian lain Indonesia dan dapat mempengaruhi kebijakan dalam
pengelolaan?
C. Teori
Dasar pemahaman ekonomi perikanan adalah dinamika
populasi perikanan yang dieksploitasi. Jumlah ikan yang dapat ditangkap per
unit waktu bergantung pada tingkat pengusahaan (effort) dan ukuran populasi ikan. Oleh karena populasi ikan
bergantung pada ukuran tangkapan dan karena, tingkat effort, maka kurva jangka
panjang menunjukkan hubungan diantara penangkapan dan usaha dapat terbentuk.
Populasi akan menjadi equilibrium ketika jumlah tangkapan sama dengan
pertumbuhan alamiah, yang merupakan fungsi ukuran populasi. Selanjutnya, alasan
bahwa perikanan tidak bekerja pada posisi optimal secara sosial adalah karena
tidak ada seorangpun yang memilikinya dan rente yang dihasilkan pada tingkat
ini akan menarik banyak effort sampai rente tersebut tidak teratur. Output
optimum dan harga dapat ditentukan dengan membangun kurva supplai total optimum
dari kurva-kurva biaya marginal setiap perikanan kecil. Perpotongan kurva
permintaan pasar dengan kurva suplai ini menghasilkan output total optimal dan harga.
Sekali harga ini telah ditentkan, maka pengelola dapat menggunakannya sebagai
sebuah parameter untuk menentukan jumlah optimum output dari setiap perikanan
(Anderson, 1973). Teori pemanenan optimum menyarankan bahwa maksimisasi hasil
biologis dicapai dengan menahan populasi spawning
pada tingkat konstan (Clark, 1976; Bue, et al., 2008).
Anderson (1975) mengungkapkan bahwa perikanan
terbangun atas dua komponen: kompoenen biologis yang terdiri atas stok ikan
yang dieksplaoitasi dan komponen ekonomis yang terdiri atas orang-orang dan
perlengkapan yang ada, baik jangka pendek maupun jangka panjang, agar
menangkapnya. Perikanan dapat menjadi saling bergantung karena
hubungan-hubungan biologis dan berada diantara stok-stok ikan atau karena alat
tangkap dari salah satu yang mempengaruhi mortalitas dalam stok yang lain. Anderson
(1980) mengungkapkan bahwa ada empat jenis surplus ekonomi utama yang dapat
dicapai ketika mengkaji perikanan yaitu rente bagi sifat produktif stok ikan, rente-rente
faktor normal bagi input-input, surplus konsumen dan bonus kepuasan para
pekerja. Yang terakhir merujuk kepada manfaat non uang yang dapat diperoleh
dari partisipasi kegiatan perikanan komersial dan dilengkapi juga dalam pekerjaan-pekerjaan
lain. Bila bonus kepuasaan pekerja ada namun diabaikan dalam mengembangkan
perencanaan-perencanaan efisien secara ekonomis maka kesalahan alokasi sumberdaya
akan terjadi yang akan mencegah optimum sosial dari yang sedang dihasilkan dan bahkan
mungkin akan berdampak pada penurunan kesejahteraan.
Charles (1989) mengungkapkan bahwa sistem-sistem
perikanan melibatkan interaksi yang kompleks diantara stok sumberdaya dan orang-orang
yang terlibat dalam pemanenan sumberdaya tersebut. Sementara dinamika populasi
stok ikan yang telah menjadi perhatian dalam segi literature ekologis, dinamika
komunitas manusia brgantung pada perikanan sama-sama penting. Oleh karena itu, hubungan
dinamika stok ikan dan nelayan harus diperhitungkan dalam menentukan kebijakan
pengelolaan yang sesuai. Pendekatan pemodelan bio-sosial-ekonomi harus
menghubungkan pengaruh-pengaruh ini dalam kerangka kerja optimasi multi-tujuan.
Dinamika tenaga kerja sector perikanan ditentukan oleh keputusan-keputusan individu
para nelayan, seperti pendapatan perkapita, dan tingkat tenaga kerja, dan keadaan
ekonomi eksternal. Pendekatan terhadap equilibrium menggunakan simulasi
computer menunjukkan secara jelas dinamika baik tenaga kerja maupun targetnya
atau tingkat “alamiah”, bersama-sama dengan penyesuaian bertahap dari yang
sebelumnya sampai yang belakangan. Di bawah pengelolaan yang optimal, tingkat
pemanenan ditemukan beragam secara substansial sepanjang waktu. Dinamika tenaga
kerja dapat bergantung secara signifikan pada pembatas-pembatas yang
ditempatkan pada usaha perikanan dalam hal ini tenaga kerja itu sendiri.
Yew (1996) mengungkapkan analisis yang mengancam
perikanan demersal sebagai suatu stok yang terkumpul lebih baik dari pada
membaginya ke dalam berbagai spesies utama. Pada waktu yang sama, dapat
dicatatat, meskipun tidak dapat dinilai, tingkah laku yang ditargetkan pada spesies
yang berbeda dengan jenis alat tangkap utama. Sebuah keterwakilan yang lebih
akurat mengenai bioekonomi perikanan demersal seharusnya diperoleh jika sebuah
model dikembangka yang mengintegrasikan perbedaan-perbedaan ekonomi dan
biologis spesies-spesies utama.
Pada sebuah tingkat perikanan, pengelolaan yang
efektif, maka menunjukkan bahwa sebuah tujuan atau target pengelolaan ditentukan
dan diperkuat juga dalam bentuk control input atau control output pada tingkat
yang menjamin kelanjutan stok (setelah pemanenan) baik tingkat yang dapat
berkelanjutan maupun tingkat yang menjamin hasil ekonomis maksimum (MEY)
diperole. Tingkat biomassa yang berkaitan dengan MEY ditujukan sebagai B-MEY
ketika MEY sedang diukur terhadap ukuran total stok dan MEY ketika MEY sedang
diukur terhadap ukuran stok spawning. Hasil MEY akan menjadi sesuatu yang
menyediakan keuntungan-keuntungan yang memungkinkan maksimum bagi perikanan
dari effortnya, karakteristik biologis tertentu dari stok/spesies target-target
perikanan serta syarat-syarat keberlanjutan biologis. Selanjutnya, contoh dari
pelaksanaan MEY ini adalah studi yang dilakuan dimana penentuan MEY yang cocok
bagi setiap Negara membantuk Korea Selatan, China dan Jepang menjadi lebih
dekat dan mencapai solusi kerjasama bagi stok lintas batas ini. Negara-negara
ini harus melakukan negosiasi mengenai tingkat diskon dan cara-cara mereka
untuk mencapai tingkat diskon yang stabil diantara mereka sendiri. Bagi alasan
ini China harus menurunkan, Korea Selatan harus membuatnya stabil dan jepang
harus meningkatkan tingkat diskon. Tingkat diskon sosial biasanya tidak
berkaitan dengan hanya satu faktor, sehingga tidak mudah bagi Negara-negara
tersebut juga (Midani dan Lee, 2014).
D. Metode Analisis
Analisis dalam makalah ini berusaha
untuk mengulas hal-hal yang berkaitan dengan metode penelitian, lokasi dan
waktu penelitian, pemilihan model, dan cara pempulan dan analisis datanya.
Selain itu, bagaimana data-data yang telah dianalisis diinterpretasikan dalam rangkaian
pembahasan dan penarikan kesimpulan. Kajian penelitian yang dilakukan oleh Sari,
et al (2008) sebagai fokus utama dalam makalah ini adalah menggunakan metode
studi kasus. Studi kasus yang diangkat adalah kegiatan perikanan ikan kerapu di
Kepulauan Seribu, DKI Jakarta dengan fenomena dimana kegiatan penangkapan
kerapu sebagai komoditas perikanan yang menjadi tumpuan pemasokan pasar lokal
dan internasional menyebabkan degradasi sumberdaya ikan ini di sisi lain. Oleh
karena itu, maka studi kasusnya ditujukan untuk melihat pola-pola yang berada
dalam pengelolaan sumberdaya ini. Penelitian dilakukan selama 4 bulan mulai
bulan Agustus hingga Desember 2004. Model yang digunakan adalah model surplus
produsen dengan pendekatan pertumbuhan logistic dengan menitik beratkan pada rente
ekonomi. Sumber datanya terdiri atas dua yaitu primer dan sekunder. Primer
diperoleh dari hasil wawancara dengan stakeholder terkait di lokasi penelitian dan
data-data utama dalam bentuk observasi. Sedangkan data sekunder diperoleh instansi-instansi
terkait. Untuk memperoleh data tersebut, diambil secara purposive sampling. Analisis data diperoleh dengan pendekatan MEY
dimana parameternya terdiri atas parameter biologi dan parameter ekonomi.
Parameter biologi terdiri atas pertmumbuhan intrinsic, daya dukung lingkungan
dan kemampuan alat tangkap dalam melakukan penangkapan. Sedangkan parameter
ekonomi terdiri atas harga input dalam melakukan penangkapan dan harga output
ikan kerapu. Parameter biologi diduga dengan model surplus produksi dan parameter
ekonomi (harga / price) dimasukkan
dalam parameter biologi. Hasil analisis ditunjukkan dalam bentuk tabel-tabel,
yang kemudian dijabarkan dalam bentuk deskriptif dan selanjutnya ditarik
kesimpulan.
Baxter dan Jack (2008) mengungkapkan
bahwa penelitian studi kasus lebih sederhana dari pada penelitian yang
dilakukan pada individu tunggal atau keadaan tunggal. Pendekatan ini memiliki
potensi yang berkaitan dengan hal-hal sederhana hingga keadaan yang kompleks. Dengan
melakukan studi kasus, peneliti memungkinkan untuk menjawab jenis-jenis “bagaimana”
dan “mengapa” dalam mempertimbangkan bagaiamana sebuah fenomenad dipengaruhi oleh
situasi konteks.
Nazir (1988) dalam Sari, et al (2008)
mengungkapkan bahwa hasil penelitian kasus merupakan suatu generalisasi dari
pola-pola kasus khusus dari individu, kelompok, lembaga dan sebagainya. Studi
kasus lebih mengkaji variabel yang cukup banyak pada jumlah unit yang kecil dan
mempunyai keunggulan sebagai satu studi untuk mendukung studi yang besar
dikemudian hari. Studi kasus dapat memberikan hipotesa-hipotesa untuk
penelitian lanjutan. Dari segi edukatif, maka studi kasus dapat digunakan
sebagai contoh ilustrasi baik dalam perumusan masalah, penggunaan statistic
dalam mengalisa data serta cara-cara perumusan generalisasi dan kesimpulan.
E. Model Analisis
Model
analisis yang digunakan dalam jurnal tersebut adalah model surplus produksi dimana
disesuaikan dengan model pertumbuhan logistik yang dikemukakan oleh Schaefer
1954. Model dengan fugsi logistic merupakan bentuk simetris diama ada titik
puncak kuadratik . ketika suatu stok sumberdaya perikanan mulai dieksploitasi,
maka laju pertumbuhan sumberdaya tersebut dihitug berdasarkan satuan waktu
tertentu yang diasumsikan sebagai input dalam hal ini effort perikanan yang digunakan dalam perhitungan stok sumberdaya
perikanan yang tersedia. Perlu diketahui bahwa dalam penelitian dalam jurnal
tersebut, model yang dibangun di dasarkan atas atas satu spesies (single species) yaitu ikan kerapu dan
menganggap spesies-spesies lain tidak memberikan pengaruh terhadap input model
ini (catteries paribus). Dua hal
penting dalam membangun model ini yaitu parameter biologi dan parameter ekonomi
seperti yang disebutkan dalam bagian sebelumnya
di atas. Parameter ekonomi dalam hal ini harga ikan (fish unit price) yang berlaku di
masyarakat saat penelitian berlangsung menjadi dasar input ekonomi dan
biaya-biaya (cost) dalam kegiatan penangkapan juga menjadi pertimbangan penting.
Kedua parameter tersebut ditentukan pada kondisi optimal yaitu penangkapan
optimal, jumlah penangkapan optimal dan biomassa optimal.
Setelah penyajian data dengan
menggunakan dua pendekatan parameter dalam model surplus produksi tersebut,
maka data disajikan dalam tabel-tabel hasil analisis dan interpretasikan secara
deskriptif terhadap kondisi sumberdaya tersebut. Selanjutnya, kegiatan
penangkapan ikan kerapu di Kepulauan Seribu terdiri atas dua jenis yaitu
penangkapan dengan menggunakan bubu dan pancing. Olehnya itu, analisis didasarkan
atas dua aktivitas penangkapan tersebut. Hasil analisis menunjukkan bahwa komponen
biaya yang termasuk dalam menentukan parameter ekonomi di atas adalah biaya
investasi, biaya variabel dan biaya tetap. Biaya investasi terdiri atas
pembelian kapal, mesin dan alat tangkap. Biaya variabel terdiri atas biaya
bahan bakar, baiaya perbekalan, peribaikan kapal dan pembelian alat tangkap. Sedangkan
biaya tetapnya terdiri atas biaya yang ditanggung nelayan untuk penyutuan dari
kapal dan mesin sesuai dengan umur teknis.
Pendugaan nilai optimal eksploitasi ikan
kerapu adalah sebesar 122.694,07 kg per tahun. Dari jumlah tersebut, hasil
analisis menunjukkan bahwa hanya sebesar 29.940,97 kg per tahun. Sedangkan
dilihat dari jumlah alat tangkap optimal yang mampu didukung oleh lingkungan (carrying capacity) adalah hanya sebanyak
82 unit per tahun dimana setara dengan alat tangkap bubu. Hasil analisis ini
dikonfrontasikan dengan data hasil penangkapan yang diperoleh di Dinas Kelautan
dan Perikanan menunjukkan bahwa kondisi realitas kondisi perikanan kerapu telah
melebihi tingkat pemanfaatan yang diperbolehkan secara optimal.
G. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat ditarik berdasarkan pada kajian
terhadap tulisan jurnal ini adalah sebagai berikut:
a)
Model yang
dikembangkan dalam jurnal ini adalah model surplus produsen dengan parameter
utamanya adalah parameter biologis dan parameter ekonomi;
b)
Pengolahan data dilakukan
dengan menguraikan variabel-variabel yang mempengaruhi model yang dibangun,
yang kemudian hasil analisisnya disajikan dalam bentuk deskriptif dalam
menyusun generalisasi pengambilan keputusan/kesimpulan;
c)
Penarikan
kesimpulannya didasarkan atas asumsi yang telah dibangun berdasarkan pada sajian-sajian
data kuantitatif yang menyusun generalisasi data;
d)
Penelitian-penelitian
selanjutnya secara mendalam akan dibahas dalam analisis kritis pada bagian sebelum
penutup pada makalah ini.
H. Analisis Kritis
Ketersediaan data dan hasil kajian
secara berkesinambungan (series)
mengenai tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan dengan pendekatan ekonomi (misalnya
maximum economic yield / MEY) sangat
diperlukan dalam membangun kebijakan perikanan jangka panjang di Indonesia. Kajian
yang dilakukan oleh Sari, et al (2008) telah menunjukkan seberapa besar sumberdaya
yang boleh ditangkap, jumlah alat tangkap yang digunakan dan nilai ekonomi (economic rent) yang diperoleh dari
aktivitas kegiatan perikanan kerapu di Kepulauan Seribu. Pada model yang
dikembangkan di atas, asumsi yang dibangun adalah alat tangkap yang digunakan
oleh nelayan adalah hanya menggunakan satu alat tangkap untuk satu jenis
tangkapan (spesies), sementara pada kenyataannya kegiatan penangkapan misalnya
bubu, ikan yang tertangkap lebih dari satu jenis dan ini tidak dimasukkan dalam
perhitungan kajian model tersebut, juga sama halnya dengan harga ikan yang
terbangun di pasaran, bahwa faktor-faktor berupa tingkat ukuran ikan, waktu
penjualan dan kebijakan terhadap pengelolaan ikan ini tidak dimasukkan dalam
kajian tersebut.
Berdasarkan pada analisis tersebut, maka
beberapa masukkan yang perlu kiranya dibangun dalam penelitian-penelitian pengelolaan
sumberdaya perikanan di masa yang akan datang adalah tidak hanya berhenti pada jumlah
hasil MEY yang diperoleh tetapi bagaimana hasil kajian tersebut dapat
mempengaruhi pengambilan keputusan dan pengelolaan lebih lanjut. Sehingga di
satu sisi tidak hanya nilai ekonomi yang diperoleh berdasarkan hasil kajian
namun juga bentuk pengelolaan dan jalannya pengelolaan sumberdaya tersebut juga
kiranya dapat menjadi tanggungjawab bersama.
I. Penutup
Demikian kajian ini dibuat sebagai bahan
latihan dalam melihat mengkaji fenomena dan pembelajaran bagi pengelolaan
sumberdaya perikanan baik di masa yang sekarang maupun di masa yang akan
datang. Keterampilan yang dibangun akan sangat mendukung dalam penyediaan
sumberdaya manusia yang mumpuni dalam pengelolaan sumberdaya alam yang dapat
berkelanjutan. Oleh karena itu, kajian-kajian seperti ini perlu dilakukan
secara terus-menerus dalam menciptakan sumberdaya tersebut.
Daftar Pustaka
Anderson, Lee G., 1973. Optimum
Economic Yield of a Fishery Given a Variable Price of Output. Journal of
Fisheries Resources Board Canada. Vol. 30: 509 – 518.
Anderson, L.G., 1975. Analysis of
Open-Access Commercial Exploitation and Maximum Economic Yield in Biologically
and Technologically Interdependent Fisheries. Journal of Fish Resources Board
Canada. Vol. 32: 1825 – 1842.
Anderson, L.G., 1980. Necessary
Components of Economic Surplus in Fisheries Economics. Canada Journal of Fish
Aquatic Science. Vol. 37: 858 – 870.
Charles, A.T., 1989.
Bio-Socio-Economic Fishery Models: Labor Dynamics and Multi-Objective
Management. Canada Journal of Aquatic Science. Vol. 46 : 1313 – 1322.
Midani, A.R., and Lee G. S., 2014. Effect
of Price, Costs and Social Discount Rate on Maximum Economic Yield: the Case of
Mackerel Fishing in South Korea. World Journal of Fish and Marine Science. Vol.
6 (2): 57 – 65.
Sari Y.D., Kusumastanto T.,
Adrianto L., 2008. Maximum Economic Yield Sumberdaya Perikanan Kerapu di
Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Jurnal Bijak dan Riset Sosek KP. Vol. 3
(1): 65 – 74.
Yew T.S., 1996. Optimal Bioeconomic
Exploitation of the Demersal Fishery in Northwest Peninsular Malaysia. Pertanika
Journal of Social Science & Human. Vol 4(1): 65-76.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar