Minggu, 27 Maret 2016

Perikanan Kerapu




A Counter Article for

Maximum Economic Yield Sumberdaya Perikanan Kerapu 
di Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta (Sari, et al., 2008)







Oleh: 
La Ode Wahidin 

Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika  
Fakultas Ekonomi dan Manajemen 
Sekolah Pascasarjana 
Institut Pertanian Bogor 
Dramaga 2016




A. Pendahuluan

Ikan sebagai sumberdaya yang dapat diperbaharui sesungguhnya memiliki sifat yang terbatas. Pada daerah-daerah dengan pemanfaatan yang masih rendah atau belum termanfaatkan sama sekali sesungguhnya stok ikan dapat berada pada batas yang mampu dibendung oleh lingkungannya. Ikan di alam beranekaragam dengan jumlah populasi yang beragam pula. Dikenal dua jenis ikan yaitu ikan pelagis dan ikan demersal. Ikan pelagis merupakan ikan yang beruaya /terdistribusi diantara permukaan air dan kolom perairan, sedangkan ikan demersal merupakan ikan yang berada di daerah dasar perairan. Kedua jenis ikan ini terdiri atas berbagai famili dan spesies penyusunnya.

Sebagai ikan demersal, sumberdaya ikan karang merupakan komoditi yang sangat berharga bila dilihat dari sisi ekonomi dan juga sebagai komponen terumbu karang yang sehat. Permintaan terhadap ikan karang baik untuk konsumsi maupun ikan hias melonjak tajam, sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk dan perubahan gaya hidup masyarakat. Sedangkan di sisi lain, kondisi terumbu karang sebagai rumahnya juga terus mengalami penurunan kualitas sehingga menyebabkan sumberdaya ini terus mengalami penurunan di alam. Ikan kerapu yang merupakan spesies ikan karang ekonomis penting terus mengalami peningkatan permintaan sepanjang tahun dan mulai menyebabkan komoditas ikan ini mengalami gejala penangkapan yang berlebih (over fishing) di habitat aslinya di Indonesia. Permintaan yang paling besar datangnya dari Tiongkok dimana dijadikan sebagai makanan favorit pada hari-hari besar tertentu. Di sisi lain, laju pertumbuhan ikan kerapu terbilang lambat dibandingkan dengan ikan-ikan demersal lainnya, sehingga bila dilakukan penangkapan secara terus-menerus maka sumberdaya ini secara alamiah akan menurun populasinya. Adanya permintaan oleh pasar yang besar dan tidak adanya kontrol terhadap pengelolaan sumberdaya ikan ini secara benar dan aplikatif maka dalam jangka panjang sumberdaya ini akan semakin sedikit pada daerah-daerah penangkapannya secara masif.

Kepulauan Seribu, DKI Jakarta telah menjadi pemasok ikan kerapu dalam jangka waktu yang lama kepada pasar-pasar lokal dan internasional, khususnya Hongkong. Penelitian yang dilakukan oleh Sari, et al (2008) mengenai sumberdaya perikanan kerapu di Kepulauan Seribu dengan pendekatan hasil ekonomi maksimum (maximum economic yield) menunjukkan kegiatan penangkapan berlebih (over fishing). Pengkajian keadaan sumberdaya perikanan kerapu tersebut digunakan dengan model surplus produksi yang disesuikan dengan model pertumbuhan logistic yang dikemukakan oleh Schaefer 1954. Pendekatan model ini diturunkan dari rente ekonomi sumberdaya tersebut.

Berdasarkan gambaran tersebut, maka makalah ini berusaha untuk mengulas jurnal yang ditulis oleh Sari, et al (2008) tersebut dan dikaitkan dengan kajian-kajian yang sejenisnya serta bagaimana peran dari penelitian sejenis tersebut dalam mempengaruhi kebijakan terhadap pelestarian sumberdaya ini di masa yang akan datang.



B. Permasalahan

Permintaan pasar terhadap ikan kerapu yang ditangkap secara alamiah di alam menyebabkan sumberdaya ini diburu secara berlebihan di habitat aslinya, sedangkan ketersediaan sumberdaya ini dengan metode budidaya belum mampu untuk menjawab kebutuhan pasar yang semakin bertumbuh. Harga jual yang tinggi dan tidak adanya kajian secara berkesinambungan (series research) serta kebijakan yang mengatur pengelolaan sumberdaya ini dengan bijak merupakan beberapa faktor-faktor yang berpengaruh penting dalam keberlanjutan sumberdaya ini di masa yang akan datang. Penelitian yang dilakukan oleh Sari, et al (2008) mengenai sumberdaya kerapu di Kepulauan Seribu dengan pendekatan model surplus produsen merupakan langkah nyata dalam memberikan ruang terhadap ketersediaan data yang menjadi basis pengambilan keputusan bagi kebijakan pengelolaan sumberdaya ini, khususnya di Kepulauan Seribu. Dengan demikian, maka pertanyaan mendasar yang terbangun dalam makalah ini adalah (1) model apa yang dikembangkan dalam makalah ini? (2) Bagaimana pengolahan dan penyajian datanya?  (3) Bagaimana proses penarikan kesimpulannya? (4) Bagaiman seharusnya agar penelitian-penelitian yang serupa dapat diduplikasian di bagian lain Indonesia dan dapat mempengaruhi kebijakan dalam pengelolaan?

C. Teori
Dasar pemahaman ekonomi perikanan adalah dinamika populasi perikanan yang dieksploitasi. Jumlah ikan yang dapat ditangkap per unit waktu bergantung pada tingkat pengusahaan (effort) dan ukuran populasi ikan. Oleh karena populasi ikan bergantung pada ukuran tangkapan dan karena, tingkat effort, maka kurva jangka panjang menunjukkan hubungan diantara penangkapan dan usaha dapat terbentuk. Populasi akan menjadi equilibrium ketika jumlah tangkapan sama dengan pertumbuhan alamiah, yang merupakan fungsi ukuran populasi. Selanjutnya, alasan bahwa perikanan tidak bekerja pada posisi optimal secara sosial adalah karena tidak ada seorangpun yang memilikinya dan rente yang dihasilkan pada tingkat ini akan menarik banyak effort sampai rente tersebut tidak teratur. Output optimum dan harga dapat ditentukan dengan membangun kurva supplai total optimum dari kurva-kurva biaya marginal setiap perikanan kecil. Perpotongan kurva permintaan pasar dengan kurva suplai ini menghasilkan output total optimal dan harga. Sekali harga ini telah ditentkan, maka pengelola dapat menggunakannya sebagai sebuah parameter untuk menentukan jumlah optimum output dari setiap perikanan (Anderson, 1973). Teori pemanenan optimum menyarankan bahwa maksimisasi hasil biologis dicapai dengan menahan populasi spawning pada tingkat konstan (Clark, 1976; Bue, et al., 2008).
Anderson (1975) mengungkapkan bahwa perikanan terbangun atas dua komponen: kompoenen biologis yang terdiri atas stok ikan yang dieksplaoitasi dan komponen ekonomis yang terdiri atas orang-orang dan perlengkapan yang ada, baik jangka pendek maupun jangka panjang, agar menangkapnya. Perikanan dapat menjadi saling bergantung karena hubungan-hubungan biologis dan berada diantara stok-stok ikan atau karena alat tangkap dari salah satu yang mempengaruhi mortalitas dalam stok yang lain. Anderson (1980) mengungkapkan bahwa ada empat jenis surplus ekonomi utama yang dapat dicapai ketika mengkaji perikanan yaitu rente bagi sifat produktif stok ikan, rente-rente faktor normal bagi input-input, surplus konsumen dan bonus kepuasan para pekerja. Yang terakhir merujuk kepada manfaat non uang yang dapat diperoleh dari partisipasi kegiatan perikanan komersial dan dilengkapi juga dalam pekerjaan-pekerjaan lain. Bila bonus kepuasaan pekerja ada namun diabaikan dalam mengembangkan perencanaan-perencanaan efisien secara ekonomis maka kesalahan alokasi sumberdaya akan terjadi yang akan mencegah optimum sosial dari yang sedang dihasilkan dan bahkan mungkin akan berdampak pada penurunan kesejahteraan.
Charles (1989) mengungkapkan bahwa sistem-sistem perikanan melibatkan interaksi yang kompleks diantara stok sumberdaya dan orang-orang yang terlibat dalam pemanenan sumberdaya tersebut. Sementara dinamika populasi stok ikan yang telah menjadi perhatian dalam segi literature ekologis, dinamika komunitas manusia brgantung pada perikanan sama-sama penting. Oleh karena itu, hubungan dinamika stok ikan dan nelayan harus diperhitungkan dalam menentukan kebijakan pengelolaan yang sesuai. Pendekatan pemodelan bio-sosial-ekonomi harus menghubungkan pengaruh-pengaruh ini dalam kerangka kerja optimasi multi-tujuan. Dinamika tenaga kerja sector perikanan ditentukan oleh keputusan-keputusan individu para nelayan, seperti pendapatan perkapita, dan tingkat tenaga kerja, dan keadaan ekonomi eksternal. Pendekatan terhadap equilibrium menggunakan simulasi computer menunjukkan secara jelas dinamika baik tenaga kerja maupun targetnya atau tingkat “alamiah”, bersama-sama dengan penyesuaian bertahap dari yang sebelumnya sampai yang belakangan. Di bawah pengelolaan yang optimal, tingkat pemanenan ditemukan beragam secara substansial sepanjang waktu. Dinamika tenaga kerja dapat bergantung secara signifikan pada pembatas-pembatas yang ditempatkan pada usaha perikanan dalam hal ini tenaga kerja itu sendiri.
Yew (1996) mengungkapkan analisis yang mengancam perikanan demersal sebagai suatu stok yang terkumpul lebih baik dari pada membaginya ke dalam berbagai spesies utama. Pada waktu yang sama, dapat dicatatat, meskipun tidak dapat dinilai, tingkah laku yang ditargetkan pada spesies yang berbeda dengan jenis alat tangkap utama. Sebuah keterwakilan yang lebih akurat mengenai bioekonomi perikanan demersal seharusnya diperoleh jika sebuah model dikembangka yang mengintegrasikan perbedaan-perbedaan ekonomi dan biologis spesies-spesies utama.
Pada sebuah tingkat perikanan, pengelolaan yang efektif, maka menunjukkan bahwa sebuah tujuan atau target pengelolaan ditentukan dan diperkuat juga dalam bentuk control input atau control output pada tingkat yang menjamin kelanjutan stok (setelah pemanenan) baik tingkat yang dapat berkelanjutan maupun tingkat yang menjamin hasil ekonomis maksimum (MEY) diperole. Tingkat biomassa yang berkaitan dengan MEY ditujukan sebagai B-MEY ketika MEY sedang diukur terhadap ukuran total stok dan MEY ketika MEY sedang diukur terhadap ukuran stok spawning. Hasil MEY akan menjadi sesuatu yang menyediakan keuntungan-keuntungan yang memungkinkan maksimum bagi perikanan dari effortnya, karakteristik biologis tertentu dari stok/spesies target-target perikanan serta syarat-syarat keberlanjutan biologis. Selanjutnya, contoh dari pelaksanaan MEY ini adalah studi yang dilakuan dimana penentuan MEY yang cocok bagi setiap Negara membantuk Korea Selatan, China dan Jepang menjadi lebih dekat dan mencapai solusi kerjasama bagi stok lintas batas ini. Negara-negara ini harus melakukan negosiasi mengenai tingkat diskon dan cara-cara mereka untuk mencapai tingkat diskon yang stabil diantara mereka sendiri. Bagi alasan ini China harus menurunkan, Korea Selatan harus membuatnya stabil dan jepang harus meningkatkan tingkat diskon. Tingkat diskon sosial biasanya tidak berkaitan dengan hanya satu faktor, sehingga tidak mudah bagi Negara-negara tersebut juga (Midani dan Lee, 2014). 

D. Metode Analisis
Analisis dalam makalah ini berusaha untuk mengulas hal-hal yang berkaitan dengan metode penelitian, lokasi dan waktu penelitian, pemilihan model, dan cara pempulan dan analisis datanya. Selain itu, bagaimana data-data yang telah dianalisis diinterpretasikan dalam rangkaian pembahasan dan penarikan kesimpulan. Kajian penelitian yang dilakukan oleh Sari, et al (2008) sebagai fokus utama dalam makalah ini adalah menggunakan metode studi kasus. Studi kasus yang diangkat adalah kegiatan perikanan ikan kerapu di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta dengan fenomena dimana kegiatan penangkapan kerapu sebagai komoditas perikanan yang menjadi tumpuan pemasokan pasar lokal dan internasional menyebabkan degradasi sumberdaya ikan ini di sisi lain. Oleh karena itu, maka studi kasusnya ditujukan untuk melihat pola-pola yang berada dalam pengelolaan sumberdaya ini. Penelitian dilakukan selama 4 bulan mulai bulan Agustus hingga Desember 2004. Model yang digunakan adalah model surplus produsen dengan pendekatan pertumbuhan logistic dengan menitik beratkan pada rente ekonomi. Sumber datanya terdiri atas dua yaitu primer dan sekunder. Primer diperoleh dari hasil wawancara dengan stakeholder terkait di lokasi penelitian dan data-data utama dalam bentuk observasi. Sedangkan data sekunder diperoleh instansi-instansi terkait. Untuk memperoleh data tersebut, diambil secara purposive sampling. Analisis data diperoleh dengan pendekatan MEY dimana parameternya terdiri atas parameter biologi dan parameter ekonomi. Parameter biologi terdiri atas pertmumbuhan intrinsic, daya dukung lingkungan dan kemampuan alat tangkap dalam melakukan penangkapan. Sedangkan parameter ekonomi terdiri atas harga input dalam melakukan penangkapan dan harga output ikan kerapu. Parameter biologi diduga dengan model surplus produksi dan parameter ekonomi (harga / price) dimasukkan dalam parameter biologi. Hasil analisis ditunjukkan dalam bentuk tabel-tabel, yang kemudian dijabarkan dalam bentuk deskriptif dan selanjutnya ditarik kesimpulan.
Baxter dan Jack (2008) mengungkapkan bahwa penelitian studi kasus lebih sederhana dari pada penelitian yang dilakukan pada individu tunggal atau keadaan tunggal. Pendekatan ini memiliki potensi yang berkaitan dengan hal-hal sederhana hingga keadaan yang kompleks. Dengan melakukan studi kasus, peneliti memungkinkan untuk menjawab jenis-jenis “bagaimana” dan “mengapa” dalam mempertimbangkan bagaiamana sebuah fenomenad dipengaruhi oleh situasi konteks.
Nazir (1988) dalam Sari, et al (2008) mengungkapkan bahwa hasil penelitian kasus merupakan suatu generalisasi dari pola-pola kasus khusus dari individu, kelompok, lembaga dan sebagainya. Studi kasus lebih mengkaji variabel yang cukup banyak pada jumlah unit yang kecil dan mempunyai keunggulan sebagai satu studi untuk mendukung studi yang besar dikemudian hari. Studi kasus dapat memberikan hipotesa-hipotesa untuk penelitian lanjutan. Dari segi edukatif, maka studi kasus dapat digunakan sebagai contoh ilustrasi baik dalam perumusan masalah, penggunaan statistic dalam mengalisa data serta cara-cara perumusan generalisasi dan kesimpulan. 

E. Model Analisis

 Model analisis yang digunakan dalam jurnal tersebut adalah model surplus produksi dimana disesuaikan dengan model pertumbuhan logistik yang dikemukakan oleh Schaefer 1954. Model dengan fugsi logistic merupakan bentuk simetris diama ada titik puncak kuadratik . ketika suatu stok sumberdaya perikanan mulai dieksploitasi, maka laju pertumbuhan sumberdaya tersebut dihitug berdasarkan satuan waktu tertentu yang diasumsikan sebagai input  dalam hal ini effort perikanan yang digunakan dalam perhitungan stok sumberdaya perikanan yang tersedia. Perlu diketahui bahwa dalam penelitian dalam jurnal tersebut, model yang dibangun di dasarkan atas atas satu spesies (single species) yaitu ikan kerapu dan menganggap spesies-spesies lain tidak memberikan pengaruh terhadap input model ini (catteries paribus). Dua hal penting dalam membangun model ini yaitu parameter biologi dan parameter ekonomi seperti yang disebutkan dalam bagian sebelumnya  di atas. Parameter ekonomi dalam hal ini harga ikan (fish unit price) yang berlaku di masyarakat saat penelitian berlangsung menjadi dasar input ekonomi dan biaya-biaya (cost) dalam kegiatan penangkapan juga menjadi pertimbangan penting. Kedua parameter tersebut ditentukan pada kondisi optimal yaitu penangkapan optimal, jumlah penangkapan optimal dan biomassa optimal. 

F. Analisis

Setelah penyajian data dengan menggunakan dua pendekatan parameter dalam model surplus produksi tersebut, maka data disajikan dalam tabel-tabel hasil analisis dan interpretasikan secara deskriptif terhadap kondisi sumberdaya tersebut. Selanjutnya, kegiatan penangkapan ikan kerapu di Kepulauan Seribu terdiri atas dua jenis yaitu penangkapan dengan menggunakan bubu dan pancing. Olehnya itu, analisis didasarkan atas dua aktivitas penangkapan tersebut. Hasil analisis menunjukkan bahwa komponen biaya yang termasuk dalam menentukan parameter ekonomi di atas adalah biaya investasi, biaya variabel dan biaya tetap. Biaya investasi terdiri atas pembelian kapal, mesin dan alat tangkap. Biaya variabel terdiri atas biaya bahan bakar, baiaya perbekalan, peribaikan kapal dan pembelian alat tangkap. Sedangkan biaya tetapnya terdiri atas biaya yang ditanggung nelayan untuk penyutuan dari kapal dan mesin sesuai dengan umur teknis.
Pendugaan nilai optimal eksploitasi ikan kerapu adalah sebesar 122.694,07 kg per tahun. Dari jumlah tersebut, hasil analisis menunjukkan bahwa hanya sebesar 29.940,97 kg per tahun. Sedangkan dilihat dari jumlah alat tangkap optimal yang mampu didukung oleh lingkungan (carrying capacity) adalah hanya sebanyak 82 unit per tahun dimana setara dengan alat tangkap bubu. Hasil analisis ini dikonfrontasikan dengan data hasil penangkapan yang diperoleh di Dinas Kelautan dan Perikanan menunjukkan bahwa kondisi realitas kondisi perikanan kerapu telah melebihi tingkat pemanfaatan yang diperbolehkan secara optimal. 

G. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat ditarik berdasarkan pada kajian terhadap tulisan jurnal ini adalah sebagai berikut:
a)        Model yang dikembangkan dalam jurnal ini adalah model surplus produsen dengan parameter utamanya adalah parameter biologis dan parameter ekonomi;
b)        Pengolahan data dilakukan dengan menguraikan variabel-variabel yang mempengaruhi model yang dibangun, yang kemudian hasil analisisnya disajikan dalam bentuk deskriptif dalam menyusun generalisasi pengambilan keputusan/kesimpulan;
c)        Penarikan kesimpulannya didasarkan atas asumsi yang telah dibangun berdasarkan pada sajian-sajian data kuantitatif yang menyusun generalisasi data;
d)       Penelitian-penelitian selanjutnya secara mendalam akan dibahas dalam analisis kritis pada bagian sebelum penutup pada makalah ini.

H. Analisis Kritis 

Ketersediaan data dan hasil kajian secara berkesinambungan (series) mengenai tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan dengan pendekatan ekonomi (misalnya maximum economic yield / MEY) sangat diperlukan dalam membangun kebijakan perikanan jangka panjang di Indonesia. Kajian yang dilakukan oleh Sari, et al (2008) telah menunjukkan seberapa besar sumberdaya yang boleh ditangkap, jumlah alat tangkap yang digunakan dan nilai ekonomi (economic rent) yang diperoleh dari aktivitas kegiatan perikanan kerapu di Kepulauan Seribu. Pada model yang dikembangkan di atas, asumsi yang dibangun adalah alat tangkap yang digunakan oleh nelayan adalah hanya menggunakan satu alat tangkap untuk satu jenis tangkapan (spesies), sementara pada kenyataannya kegiatan penangkapan misalnya bubu, ikan yang tertangkap lebih dari satu jenis dan ini tidak dimasukkan dalam perhitungan kajian model tersebut, juga sama halnya dengan harga ikan yang terbangun di pasaran, bahwa faktor-faktor berupa tingkat ukuran ikan, waktu penjualan dan kebijakan terhadap pengelolaan ikan ini tidak dimasukkan dalam kajian tersebut.
Berdasarkan pada analisis tersebut, maka beberapa masukkan yang perlu kiranya dibangun dalam penelitian-penelitian pengelolaan sumberdaya perikanan di masa yang akan datang adalah tidak hanya berhenti pada jumlah hasil MEY yang diperoleh tetapi bagaimana hasil kajian tersebut dapat mempengaruhi pengambilan keputusan dan pengelolaan lebih lanjut. Sehingga di satu sisi tidak hanya nilai ekonomi yang diperoleh berdasarkan hasil kajian namun juga bentuk pengelolaan dan jalannya pengelolaan sumberdaya tersebut juga kiranya dapat menjadi tanggungjawab bersama. 

I. Penutup

Demikian kajian ini dibuat sebagai bahan latihan dalam melihat mengkaji fenomena dan pembelajaran bagi pengelolaan sumberdaya perikanan baik di masa yang sekarang maupun di masa yang akan datang. Keterampilan yang dibangun akan sangat mendukung dalam penyediaan sumberdaya manusia yang mumpuni dalam pengelolaan sumberdaya alam yang dapat berkelanjutan. Oleh karena itu, kajian-kajian seperti ini perlu dilakukan secara terus-menerus dalam menciptakan sumberdaya tersebut. 

Daftar Pustaka


Anderson, Lee G., 1973. Optimum Economic Yield of a Fishery Given a Variable Price of Output. Journal of Fisheries Resources Board Canada. Vol. 30: 509 – 518.
Anderson, L.G., 1975. Analysis of Open-Access Commercial Exploitation and Maximum Economic Yield in Biologically and Technologically Interdependent Fisheries. Journal of Fish Resources Board Canada. Vol. 32: 1825 – 1842.
Anderson, L.G., 1980. Necessary Components of Economic Surplus in Fisheries Economics. Canada Journal of Fish Aquatic Science. Vol. 37: 858 – 870.
Charles, A.T., 1989. Bio-Socio-Economic Fishery Models: Labor Dynamics and Multi-Objective Management. Canada Journal of Aquatic Science. Vol. 46 : 1313 – 1322.
Midani, A.R., and Lee G. S., 2014. Effect of Price, Costs and Social Discount Rate on Maximum Economic Yield: the Case of Mackerel Fishing in South Korea. World Journal of Fish and Marine Science. Vol. 6 (2): 57 – 65.
Sari Y.D., Kusumastanto T., Adrianto L., 2008. Maximum Economic Yield Sumberdaya Perikanan Kerapu di Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Jurnal Bijak dan Riset Sosek KP. Vol. 3 (1): 65 – 74.
Yew T.S., 1996. Optimal Bioeconomic Exploitation of the Demersal Fishery in Northwest Peninsular Malaysia. Pertanika Journal of Social Science & Human. Vol 4(1): 65-76.

 


Tidak ada komentar: