Rabu, 02 Desember 2015

UKM DALAM TANTANGAN DI ERA MEA

Oleh
La Ode Wahidin

Pengalaman usaha kecil dan menengah dalam krisis berat Indonesia dan Asia 1998 telah menunjukkan bahwa sektor usaha tersebut mampu bertahan dari terpaan gelombang dan badai krisis ekonomi. Sangat telihat jelas bahwa, ketika perusahaan­perusahaan besar mengalami kegagalan produksi yang diakibatkan oleh meni ngkatnya bahan baku perusahaan yang sangat tajam karena berasal dari impor. Sementara pada sisi lain, harga bahan baku yang dibeli dengan dolar  membuat perushaan mengalami kerugian kurs berkali lipat. Dampaknya, banyak korporasi yang merugi ketika itu dan akhirnya melakukan PHK massal. Pada sisi lain UKM tetap eksis di tengah badai krisis ini mencerminkan bahwa UKM mampu bertahan diterpa badai krismon. Menurut pengamat ekonomi, ada beberapa sebab, UKM bisa menjadi perusahaan skala kecil yang kuat. Satu, dalam proses produksi, UKM tidak tergantung kepada bahan baku impor, sehingga mereka terhindar dari tekanan Kurs mata uang asing terutama dolar AS. Dua, dari sisi permodalan, mereka tidak terghantung kepada perbankan. Jadi ketika perbankan banyak yang kolaps, mereka tetap jalan. Ketiga, biaya produksi UKM relatif kecil, sehingga beban perusahaan juga tidak begitu besar. Selain itu, kekuatan lain yang dimiliki oleh UKM adalah pasar. Pasar UKM Indonesia sangatlah luas khususnya di dalam negeri dengan potensi pasar yang terus tumbuh sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya tingkat kebutuhan serta bervariasinya gaya hidup dimana pasar tersebut sebanyak jumlah penduduk negeri ini, kurang lebih 250 juta jiwa. Produk UKM pada umumnya merupakan barang/bahan kebutuhan mendasar masyarakat. Olehnya itu, pasar dalam negeri masih menjanjikan untuk terus tumbuh dengan segmentasi yang berbeda­beda. Semakin besar usahanya maka segmennya semakin meningkat, dan bahkan telah ada UKM mampu menjajaki pasar­pasar di luar negeri. Hal ini juga didorong oleh keterbukaan akses informasi dan teknologi yang berkembang dengan pesatnya.mampu menjajaki pasar­pasar di luar negeri. Hal ini juga didorong oleh keterbukaan akses informasi dan teknologi yang berkembang dengan pesatnya. Realisasinya, negara­negara ASEAN akan harus memegang teguh prinsip pasar terbuka dan ekonomi yang digerakkan oleh pasar. Hal ini akan memberikan konsekuensi terhadap liberalisasi perdagangan barang, jasa, dan tenaga terampil secara bebas dan tanpa hambatan tariff dan nontarif. Permberlakuan kemudahan dalam bertransaksi antara negara di Asia Tenggara diyakini akan dapat memberikan peluang ataupun tantangan bagi peningkatan perekonomian masyarakat, khsusunya Indonesia.
Pengelolaan UKM
Maka, untuk menghadapi pasar bebas Asean (MEA), yang sangat kompetitif itu, tidak ada jalan lain, selain memperkuat UMK dari segala sisi. Mulai dari managemen keuangan, pemasaran, kualitas produk termasuk menguasai teknologi informasi (TI). Kendati UKM adalah usaha skala kecil, tapi dalam persiangan yang semakin ketata di era global ini maka menjadi keharusan mereka menguasai TI. Karena, bagaimana pun TI itu sangat murah dan efektif dalam memenangkan persaingan. Upaya penatakelolaan UKM di Indonesia di tingkat pusat di bawah payung Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah yang saat ini berfokus menghadapi MEA dengan mendorong 5 strategi tujuan yaitu peningkatan produktivitas, pemanfaatan teknologi dan inovasi, peningkatan akses pembiayaan, akses terhadap pasar dan proses memasuki pasar internasional, perbaikan penyusunan kebijakan dan peraturan yang lebih kondusif, pengembangan kewirausahaan dan peningkatan kapasitas SDM. Rasanya kebijakan ini tergolong terlambat bila dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh Thailand, dimana melalui the National Economic and Social Development Council telah melakukan persiapan secara komprehensif dan menyiapkan delapan strategi khusus untuk menghadapi MEA dalam rentang waktu tiga tahun (2012-­2015). MEA ditetapkan sebagai prioritas utama dan menjadi kebijakan populis yang melibatkan berbagai institusi pemerintah dan kalangan pengusaha. Namun, Indonesia tak boleh menyerah dengan ketertinggalan ini. Kita harus optimistis bahwa kita mampu untuk dapat memenangkan pertarungan ekonomi ini khususnya UKM. Beberapa hal yang memungkinkan untuk dapat dilakukan untuk meningkatkan sinergitas kegiatan pemberdayaan pelaku UKM di tingkat lokal dan nasional adalah dengan meningkatkan kualitas produk, peningkatan keahlian sumberdaya manusia baik kemampuan teknis maupun kemampuan manajerial serta keuangan. Selain itu yang tak kalah penting adlaah dukungan dari pihak perbankan untuk memberikan akses permodalan kepada UKM, karena selama ini permiodalan UKM hanya berasal dari keuangan keluraga dan daqri kocek sendiri. Jika semua ini dilakukan dengan baik, niscaya UMK kita bisa bersaing dengan UKM antar negara Asean lainnya. Oleh sebab itu, sudah seyogyanyan sejak sekarang jangan lagi ada pikiran yang mengecilkan UKM, sebaliknya mereka ini didorong terus dan dibantu dari semua sisi. Karena, bagaimana pun UKM secara nyata telah memberikan peluang kerja yang luas bagi tenaga kerja kelas menengah ke bawah (unskill) yang tidak bisa masuk ke sektor informal. Maka UKM adalah solusinya. (Tulisan ini dimuat dalam Tabloid Inspirasi Indonesia Edisi Volume 6, No. 129, 25 Nopember 2015).


Kamis, 12 November 2015

Pendidikan Maritim di Benua Maritim?


Oleh
La Ode Wahidin
 
Semboyan yang masih terngiang jelas dalam benak anak-anak Indonesia dari zaman dulu hingga kini, “Nenak Moyangku Seorang Pelaut” namun aku ‘bukan’ pelaut, itulah kenyataannya. Sekian banyak anak negeri ini yang bila ditanya apakah mau menjadi nelayan atau menjadi pelaut, maka hampir bisa dipastikan bahwa lebih dari setengah menjawab tidak. Alasannya paling mendasar, nelayan atau pelaut itu pekerjaan yang masuk dalam kelas bukan kantoran, pekerjaan kasar, dan pekerjaan dengan gaji rendah. Ini tercermin dari sistem pendidikan di negri ini yang masih memberikan prioritas pekerjaan yang membanggakan yaitu polisi, tentara, pegawai, pilot, dokter dan profesi-profesi bergengsi lainnya. Nelayan dan pelaut dan pekerjaan-pekerjaan yang berbasis laut tidak enak ditelinga dan masuk pekerjaan buruh. Itulah jadinya, bangsa ini mundur dalam pendidikan maritim dan sektor maritim secara umum. Dengan berkembangnya horizon khasanah ilmu pengetahuan, maritim tidak lagi dipandang terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan pelayaran dan laut. Maritim itu budaya, maritim itu warisan, maritim itu urat nadi pergerakan dan aliran energi bagi bangsa-bangsa yang menggantungkan kehidupan kesehariannya di laut.
Memang tak bisa dipungkiri sejak satu dasawarsa terakhir, laut telah menjadi perhatian serius. Setelah terpilihnya Presiden Jokowi sebagai presiden, laut menjadi tonggak utama pembangunan, khususnya pembangunan infrastruktur yang saat ini digenjat-genjot dengan nama ‘Tol Laut’. Alokasi anggaran pembangunan diberikan dengan porsi besar dengan menggaet investor dan pengusaha dalam mencapai impiannya. Manfaatnya bisa secara langsung memberikan aliran energi dan ekonomi karena terbukanya akses-akses ke daerah-daerah dengan adanya aliran barang dan uang. Namun apakah ini yang diharapkan untuk membangun Indonesia yang sejak zaman dulu? Kelihatannya masih jauh dari harapan. Infrastruktur yang dibangun harusnya diikuti pula dengan adanya akses-akses dasar pembangunannya. Sebagai daerah dengan laut sebagai sumberdaya utama (main resources) maka harusnya pendidikanlah yang harus dibentuk dan ditata terlebih dahulu dengan perencanaan yang lebih matang bahkan harus dibuatkan cetak biru jangka panjang. Untaian pulau besar dan kecil dengan jumlah penduduk yang mendiaminya terbangun atas suku bangsa dan bahasa beragam yang bercirikan kemaritiman selama ini belum mendapat perhatian yang lebih serius. Pemberlakuan pendidikan nasional yang masih beriorentasi terhadap daratan masih menjadi bukti nyata yang tidak bisa dipungkiri bahwa pendidikan kita masih berorientasi darat. Kita juga tidak boleh menafikan bahwa adanya beberapa mata pelajaran lokal (mata pelajaran mulok) yang berorientasi laut di beberapa daerah di Indonesia khususnya daerah-daerah yang pernah mendapat program COREMAP (Coral Reef and Management Program) dan beberapa daerah yang pernah di menjadi daerah pengabdian WWF Indonesia dan juga beberapa organsasi lain. Pekerjaan pembangunan pendidikan secara isidential dengan luasan dan anggaran yang terbatas yang seperti yang dilakukan oleh organisasi-organisasi tersebut tidaklah cukup untuk membangun pendidikan maritime di benua maritime, Indonesia. Pendidikan maritim di benua maritime haruslah dapat dibangun dari fondasi paling dasar yaitu sistem pendidikan nasional. Pendidikan nasional harus dirancang untuk menjadikan laut sebagai tumpuan utama pendidikan. Kebijakan pembangunan pendidikan nasional dengan adanya amanah UUD 1945 dengan menempatkan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN harus dapat membangun sistem pendidikan ini. Para pengambil kebijakan di bidang pendidikan harus sadar akan kebutuhan mendesak dan mendasar ini dalam mencapai tujuan pendidikan nasional. Pendidikan nasional yang bertumpu pada pendidikan daratan, maka pendidikan itu pincang, jalannya terseok-seok. Maka harus dibenarin dulu fondasi pendidikannya. Meskipun kita juga tidak menutup mata dengan banyaknya Universitas yang membuka jurusan pelayaran, perikanan dan kelautan dan jurusan-jurusan yang sejenisnya. Namun itu tidak cukup. Karena pendidikan sesungguhnya yang harus dibangun untuk maritime adalah pendidikan maritim ditingkat dasar pada pendidikan dasar 12 tahun yakni pendidikan yang dimulai dari tingkat SD hingga SMA.
Perencanaan pembangunan maritim di Indonesia yang berbasis maritim haruslah mampu mengintegrasikan sistem pendidikan teknologi informasi yang berkembang saat ini dengan begitu pesatnya sehingga menjadi pembelajarannya menarik baik di ruang kelas maupun di lapangan (media pembelajaran praktek lapang). Re-strukturisasi kurikulum dan metode pembelajaran menjadi kunci penentu aksesibilitas pendidikan maritime di Indonesia. Selain itu, pembangunan infrastruktur pendidikan yang berfokus pada maritime juga harus menjadi perhatian yang tidak boleh dilepaskan dalam pelaksanaannya. Muatan-muatan kelokalan dan nilai-nilai moral lokal juga kiranya diperhitungkan perencanaan tersebut.