Senin, 30 Mei 2016

Kebijakan

  



TUMPANG-TINDIH KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT DAN PULAU-PULAU KECIL, WAKATOBI 
(Sebuah Kejian Ekonomi Kelembagaan Sumberdaya)


Sebuah Essay
Mata Kuliah Ekonomi Sumberdaya Kelautan dan Pembangunan Nasional
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, 
Dramaga, 26 Mei 2016

By

La Ode Wahidin




Wakatobi nama gugusan pulau memanjang di jazirah Tenggara Pulau Sulawesi, yang dahulunya dikenal dengan sebutan Kepulauan Tukang Besi, terdiri atas 4 pulau besar (Wanci, Kaledupa, Tomia dan Binongko) dan puluhan pulau-pulau kecil lainnya dimana laut banda di bagian utara dan laut flores di bagian selatan. Wakatobi ditetapkan sebagai sebuah kawasan yang sangat strategis merupakan sebuah proses yang panjang. Sebelum terintegrasi ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada tahun 1950, Wakatobi merupakan sebuah wilayah Bharata (Provinsi) Kahedupa di bawah pemerintahan Kesultanan Buton. Sistem tata pemerintahan dan tata kelola sumberdaya alam yang terdapat di gugusan ini telah diatur dengan sangat apik, baik di darat maupun di laut. Sumberdaya lokal (tanah, hutan, sumberdaya air, terumbu karang, dan jenis-jenis ikan tertentu serta sumberdaya alam lainnya) yang menyangkut hajat hidup masyarakat lokal dikuasai oleh Sara (pemerintahan adat). Setiap pulau mempunyai Sara dan dari setiapnya disusun oleh pemuka-pemuka masyarakat sebagai pengambil kebijakan yang didasarkan atas pemenuhan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi dan keluarga.
Wakatobi mulai menjadi perhatian setelah melalui proses yang panjang sebagai sebuah daerah yang memiliki sumberdaya alam yang unik dan berbeda dari tempat lain di Indonesia. Sejak tahun 1987 dimana dimulai dari survey potensi sumberdaya alam laut oleh Ditjen PHPA tanggal 1987, sampai tahun 2007 menjadi Taman Nasional Wakatobi (TNW) setidaknya terdapat 24 proses administrasi legal formal yang telah dilewati. Luas kawasan TNW adalah 1.390.000 Ha, sama persis atau overlap dengan luas dan letak wilayah Kabupaten Wakatobi.  Dari luasan tersebut sebanyak 97% merupakan wilayah perairan/laut dan sisanya sebanyak 3% merupakan wilayah daratan berupa pulau-pulau[1]. Sedangkan defenitif menjadi sebuah pemerintah Kabupaten administratif baru dimulai sejak tanggal 18 Desember 2003 Wakatobi  resmi ditetapkan sebagai salah satu kabupaten pemekaran di Sulawesi Tenggara yang terbentuk berdasarkan Undang – Undang  Nomor  29 tahun 2003 tentang pembentukan Kabupaten Bombana, Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Kolaka Utara[2]
Penunjukkan dan penetapan Wakatobi sebagai Taman Nasional telah membawa konsekuensi kepentingan yang berbeda antara sara atau masyarakat adat, pemerintah kabupaten Wakatobi dan pihak pemerintah pusat melalui Taman Nasional Wakatobi. Pemerintah pusat melalui TNW telah menuntut dilakukannya perlindungan dan konservasi yang ketat di wilayah Taman Nasional Wakatobi, sementara pemerintah Kabupaten Wakatobi berkepentingan untuk mengelola pembangunan Wakatobi yang jelas akan berseberangan dengan tujuan TNW. Sedangkan di sisi lain, masyarakat Wakatobi masih tetap memiliki hukum adat yang tetap tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Wakatobi yang selalu memanfaatkan asset-aset sara berupa tanah (hutan, laut) untuk kepentingan masyarakat[3].  
Status Wakatobi juga secara internasional diakui sebagai warisan dunia melalui kerja keras dari Bupati Wakatobi, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan serta para peneliti dan masyarakat Wakotobi, berdasar kearifan lokal Masyarakat Wakatobi, kelestarian lingkungan dan kepentingan ekonomi masyarakat yang berkelanjutan, UNESCO pada sidang ke 24 International Coordination Council (ICC) of the Man and Biosphere (MAB) Programme pada tanggal 11-13 Juli 2012 menetapkan Wakatobi sebagai cagar biosfer dunia[4].
Sedangkan pada akhir tahun 2015, Wakatobi ditetapkan menjadi 10 destinasi pariwisata nasional yang diwujudkan dalam bentuk kawasan strategis pariwisata nasional. Dengan adanya penetapan ini, maka pengelolaan pariwisata di Wakatobi nantinya akan dikelola oleh sebuah badan yang disebut Badan Otoritas Pariwisata. Yang menurut situs resmi Pemerintah Kabupaten Wakatobi[5] bahwa BOP akan menggunakan lahan seluas 1.000 ha atau seluas 0.07% dari luas Wakatobi. Badan ini hanya berfokus pada pengelolaan pariwisata, sedangkan sektor-sektor lainnya akan menjadi kewenangan Pemerintah Kabupaten. 

 
 Gambar 1. Wakatobi sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional[6]

Lebih lanjut, pengelolaan kondisi kawasan sumberdaya alam laut wakatobi tidak hanya pada pengambil kebijakan di atas. Pengelolaan kawasan laut yang menjadi titik-titik penting terumbu karang (pristine corals ecosystem) yang berada di Wakatobi ternyata juga dikelola oleh beberapa pihak yang juga mengambil ruang pengelolaan yang hampir sama atau bahkan tumpang tindih ruang pengelolaan, yang hingga saat ini status pengelolaanya belum berubah. Yang masih ada sampai saat ini adalah status daerah perlindungan laut (marine protected areas) yang dibangun oleh Coremap-Lipi tahun 2006 hingga tahun 2008 dan daerah larangan penangkapan ikan dan biota laut (marine sanctuary) yang dibangun oleh PT. Wakatobi Dive Resort seluas 20.1 km di Pulau Tomia sejak tahun 2001 hingga saat ini.
Marine Protected Area adalah Pengelolaan Kawasan Laut yang lebih memfokuskan pada pemecahan terhadap isu-isu eksploitasi sumberdaya alam yang dominan dilakukan oleh para pengguna lokal, disamping pada potensi area utama biodiversity yang penting. Kegiatan Marine Protected Area berisikan keputusan pada ukuran pengelolaan dan penggunaan Sumber Daya Alam serta batasan oleh masyarakat yang selanjutnya memperoleh legalitas dari pemerintahan Desa. Penyusunan dan Penetapan Marine Protected Area/Daerah Perlindungan Laut (DPL) merupakan indikator keberhasilan bagi Desa Lokasi Program COREMAP II Kab. Wakatobi. Sejak Tahun 2006 – 2008 Program COREMAP II Kab. Wakatobi telah mencanangkan Daerah Perlindungan Laut DPL sebanyak 35 dari 40 Desa Lokasi Program[7]. Hingga kini, penetapan daerah-daerah DPL tersebut belum mengalami perubahan status. Penerapan undang-undang tentang penanaman modal asing di Wakatobi telah berlangsung dengan berdirinya PT. Wakatobi Dive Resort (WDR) pada tahun 1997. Perusahaan ini telah menanamkan asetnya di Wakatobi untuk kegiatan bisnis penyelaman (diving) dan telah memberikan konsekuensi terhadap pelestarian lingkungan laut dengan memberikan insentif secara langsung kepada masyarakat lokal ke 17 Desa/Kelurahan di Pulau Tomia dalam bentuk bantuan tunai. Luasan wilayah perlindungan (sanctuary) hingga kini telah mencapai 20 km (12.5 mil) dari struktur terumbu karang yang dilindungi di dalam Taman Nasional Wakatobi[8]. Selain itu juga terdapat beberapa resort dan hotel yang ada di ibu kota kabupaten Wakatobi yang memanfaatkan keindahan sumberdaya laut (eksotisme terumbu karang) sebagai daya tarik utama mereka kepada para pengunjung (visitors) dengan menyediakan pusat-pusat penyelaman (dive centers). Kehadiran usaha pariwisata tersebut juga memberikan konsekuensi terhadap privatisasi beberapa pantai yang notabenenya merupakan barang publik (public goods) berubah menjadi kepentingan bisnis. Berbagai kepentingan untuk pengembangan Wakatobi menjadi lebih maju, juga banyak mendapat perhatian dari berbagai LSM Internasional dan Nasional, dan Lokal serta Kolaborasi Penelitian yang dilakukan di Wakatobi. Beberapa di antara pengambil kebijakan (stakeholders) diluar swasta tersebut di atas yang juga turut serta memberikan sumbangsih terhadap pengelolaan di Wakatobi adalah JICA, Operation Wallacea, WWF, TNC, LSM Lokal (Komanangi, Forkani, Komunto, Formabi) dan Lembaga swadaya lain yang melakukan kegiatan di sana.
Berdasarkan pada berbagai tumpang tindih kewenangan pengelolaan di atas, maka essay ini berusaha untuk memunculkan sudut pandang permasalahan pengelolaan Wakatobi melalui kaca mata kajian ekonomi sumberdaya berbasis kelembagaan dan biaya transaksi.
Pada dasarnya, dalam sebuah Negara yang berdaulat seperti Indonesia mengakui hak kepemilikan (property rights) yang terdiri atas kepemilikan Negara (state property), kepemilikan umum (common property), kepemilikan masyarakat (communal property) dan kepemilikan pribadi/swasta (private property). Setiap hak kepemilikan memiliki prinsip-prinsip yang dipegang masing-masing. Schlager dan Ostrom (1992) menggambarkan tabel posisi yang berkaitan dengan hak kepemilikan sebagai berikut.

Rights
Owner
Proprietor
Claimant
Authorized User
Access and Withdrawal
X
X
X
X
Management
X
X
X

Exclusion
X
X


Alienation
X




Pada kasus Wakatobi, terjadi tumpang tindih pengelolaan kawasan di Wakatobi di mana Taman Nasional menjadi lembaga Negara yang mempunyai fungsi untuk melindungi sumberdaya alam sesuai dengan yang diamantkan oleh peraturan pemerintah (state property) berbenturan dengan kepemilikan lokal masyarakat (darat maupun laut) sebagai warisan budaya dari pemerintahan sebelumnya (communal property). Hal ini saja menjadi perdebatan karena hak pengelolaan itu harus mendapat pengakuan. Sementara di sisi lain, proses panjang yang dibangun oleh Taman Nasional Wakatobi (TNW) sejak tahun 1987 merupakan proses atas pengakuan hak tersebut, namun hingga saat ini penegakkan pengakuan tersebut juga bertentangan dengan struktur pemerintahan yang lain, contohnya adalah penetapan Wakatobi sebagai pemerintah kabupaten. Di wakatobi, luasan antara taman nasional dan luasan Kabupaten sama besarnya atau tidak ada bedanya. Ini menjadi dilemma dimana di satu sisi, usaha pelestarian sumberdaya alam dan di sisi lain adanya usaha ekstraksi karena pembangunan. Pada titik bersinggungan ini, teori kepemilikan yang dikemukakan oleh Schlager dan Ostrom (1992) tidak berlaku disebabkan oleh batasan kepemilikan antara setiap rezim tidak ada dan benang merah yang menyatukan kedua rezim tersebut terputus oleh fungsi masing-masing kelembagaan.
Tumpang tindih selanjutnya adalah daerah perlindungan laut (sanctuary) yang digagas oleh PT. WDR terhadap pengelolaan kawasan laut di dalam TNW juga menjadi hal yang perlu dipertanyakan. Karena di satu sisi, luasan wakatobi secara keseluruhan merupakan taman nasional yang tentu saja ada zona-zona yang ditetapkan berupa zona inti, zona penyangga, zona pariwisata dan zona pemanfaatan. Namun yang terjadi adalah sanctuary tersebut terletak pada zona pariwisata di Pulau Tomia yang menurut TNW merupakan zona yang bebas eksploitasi sedangkan di sisi lain, zona tersebut merupakan daerah yang berhadapan dengan pemukiman masyarakat yang tentu saja menjadi tumpuan masyarakat dalam menggantungkan kebutuhan ekonomi dimana sebagian besar masyarakatnya merupakan nelayan tradisional dengan jangkauan operasi yang terbatas oleh keahlian dan fasilitas penangkapan. Sedangkan dilihat dari sudut pandang peranan masing-masing kelembagaan antara TNW dan PT.WDR berada pada titik simpul sama yang baik yaitu pelestarian. Namun ketika dikaitkan dengan fungsi kelembagaan, maka PT.WDR tidak memiliki hak untuk melakukan pembangunan sanctuary tersebut, karena daerah sanctuary tersebut merupakan daerah pariwisata dari TNW. Meskipun, apa yang dilakukan oleh PT.WDR dengan melakukan pengawasan pada sanctuary tersebut dengan membuat pos-pos pengamatan dan pengamanan bagi masyarakat lokal yang akan melakukan penangkapan ikan di daerah tersebut. Namun di sisi lain, sebagai timbal balik pelarangan pada daerah tersebut, pemerintah desa masing-masing mendapatkan kompensasi berupa dana tunai dalam jumlah tertentu, hingga tahun 2012 jumlah yang diterima per desa bervariasi tergantung letaknya, semakin dekat jumlahnya sebesar Rp 5 juta. Hingga saat ini, berdasarkan pada pencarian berbasis internet, belum dilakukan pengkajian lebih lanjut secara empiris, bahwa apakah jumlah uang tersebut sebanding dengan pengorbanan yang dilakukan oleh masyarakat lokal (nelayan) lokal terhadap pembatasan ruang pemanfaatan mereka.

Gambar 2. Zonasi Taman Nasional Wakatobi

Permasalahan lain yang dihadapi dalam pengelolaan pariwisata di Wakatobi adalah pemanfaatan ruang publik (public goods) contohnya pantai-pantai berpasir putih dan daerah-daerah tertentu. Wakatobi mempunyai banyak daerah yang berpasir putih dan eksotis. Umumnya ditanami kelapa. Adanya kebutuhan ekonomi dan tuntutan pariwisata massal (mass tourism) menyebabkan pengambil-alihan tanah-tanah tersebut melalui mekanisme jual beli antara pemilik lahan (pemilik pohon kelapa) dengan para investor. Pada titik ini, terjadi perampasan hak kepemilikan publik (public goods) untuk kepentingan ekonomi investor. Terjadinya perpindahan kepemilikan tersebut, maka laut yang berada di depan pohon kelapa secara sendirinya telah dikuasai oleh investor dimana dilarang melakukan kegiatan ekstraksi sumberdaya oleh masyarakat lokal. Sementara di sisi lain daerah tersebut termasuk dalam daerah pemanfaatan umum. Budaya masyarakat wakatobi yang menjadikan pantai pasir putih sebagai tempat tambatan perahu dan aktivitas ekonomi nelayan mulai tersingkirkan dengan adanya bergantinya status kepemilikan tersebut. Ini hal serius karena berkaitan dengan hajat hidup masyarakat lokal dan masa depan generasi lokal, mata pencaharian berubah. Selain itu, karena adanya kegiatan industrialisasi pariwisata tersebut, terjadi transaksi jual beli atas tanah-tanah Sara/adat untuk kepentingan investor (seperti yang terjadi di Pulau Wangi Wangi dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir). Sementara hingga saat ini, Negara Republik Indonesia menjamin kehadiran adat sebagai suatu tatanan dalam masyarakat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan dipertegas dengan Undang-Undang Nomor 11 ahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Economics, Social and Cultural Rights (Konvenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya). Di sinilah benturan antara kepentingan ekonomi dan kepentingan budaya lokal dipertaruhkan dan secara langsung ataupun tidak langsung memunculkan konflik horizontal di dalam masyarakat.
Pada tahun 2012, Wakatobi ditetapkan sebagai Cagar Biosfer Dunia dimana fungsinya hampir sama dengan TNW dilihat dari sudut pandang pelestarian. Pada luasan daerah yang sama, terdapat tiga status kepemilikan (property righs) di dalam badan pemerintahan (state) yang berbeda yaitu Pemerintah Daerah Wakatobi (Penerpaan kebijakan otonomi daerah), Taman Nasional Wakatobi (merupakan implementasi kebijakan dari Kementerian Kehutanan) dan Cagar Biosfer (merupakan implementasi kebijakan pelestarian dunia yang diinisiasi oleh UNESCO dan LIPI-Indonesia). Pada tahun 2015 akhir, Wakatobi mendapat status baru yaitu sebagai daerah 10 destinasi Wisata di Indonesia. Konsekuensi logisnya adalah akan dibangun sebuah badan pemerintah pusat di daerah dengan sebutan Badan Otoritas Pariwisata (BOP) dengan luasan kawasan yang akan dikelola adalah 1.000 ha dari luas daratan. Perlu diketahui bahwa dari setiap proses penaikan status, memakan biaya transaksi (transactional cost) yang tidak sedikit yang disebabkan oleh adanya ketidak seimbangan informasi (misleading and unsynchronized information) diantara para pengampu kepentingan. Masuknya dan berdirinya status-status tersebut setidaknya memunculkan pro dan kontra di dalam masyarakat. Juga secara tidak langsung membuat konflik horizontal di dalam masyarakat dan meninggalkan permasalahan yang belum terjawab tuntas hingga kini. Dampak secara langsungnya adalah sulitnya penegakan aturan dari setiap rezim pengelolaan yang ada karena harus menghadirkan komunikasi lintas rezim yang memakan tenaga, waktu dan tentu saja biaya yang tidak sedikit. Di tingkat masyarakat awam, aturan-aturan tersebut akhirnya membingungkan masyarakat dan membuat aturan tersebut tidak dapat dipatuhi oleh masyarakat sebagai objek dari aturan tersebut.
Contoh yang masih hangat di Wakatobi saat ini adalah penunjukan Wakatobi sebagai salah satu dari 10 Badan Otoritas Pariwisata oleh Kementerian Koordinator Maritim memunculkan pro dan kontra di masyarakat. Di tataran elit masyarakat (pemuka masyarakat), masih terjadi perdebatan antara menerima atau menolak. Pandangan dari unsur masyarakat yang menerima adalah Badan ini akan mendatangkan kegiatan ekonomi dan pembangunan secara langsung kepada masyarakat, yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan dan meningkatkan ekonomi masyarakat, seperti yang tertulis dalam situs Pemerintah Kabupaten Wakatobi dan hasil-hasil penjelasan pemerintah daerah dalam media-media lokal. Hasil dari pencarian online (searching) yang berkaitan dengan penolakan ini adalah terdapatnya beberapa kali rentetan demonstrasi baik di Wakatobi maupun di Kota Kendari. Beberapa pandangan dari unsur yang menolak kehadiran badan ini, badan ini akan nantinya mengambil hak-hak kepemilikan lahan masyarakat dan memunculkan penjajahan baru di tanah kelahiran masyarakat lokal sendiri, seperti yang terjadi pada perusahaan-perusahaan investor yang telah ada saat ini. Sedangkan pro dan kontra secara tertulis juga menjadi perbincangan hangat dalam media sosial warga, Wakatobi Online[9].
Badan ini sesungguhnya berusaha untuk menjembatani kepentingan pengusaha (investor) dan masyarakat (Landlords) untuk menciptakan/menghasilkan keuntungan ekonomi (economic generating) atas asas saling menguntungkan bagi pendapatan Negara (devisa) secara langsung. Secara kultural, bagi masyarakat Wakatobi, semua tanah ada kepemilikannya. Ada tanah sara/adat dan tanah masyarakat sendiri. Terbentuknya badan ini seharusnya tidak digunakan pada lahan-lahan adat/sara karena secara statusnya merupakan ruang publik (public goods) yang diperuntukkan untuk kepentingan publik. Selain itu, lokasi-lokasi penting seperti pantai-pantai berpasir putih, sumber-sumber mata air, daerah-daerah hutan sebaiknya tidak menjadi pengelolaan otorita ini apalagi diberikan kepada investor karena akan membatasi akses masyarakat terhadap barang publik dan secara langsung akan merusak budaya masyarakat lokal. Sedangkan bagi lahan-lahan yang dimiliki oleh masyarakat, sebaiknya diberikan garis batas yang jelas (stating by rules) bahwa hak pakai (kepemilikan melalui kontrak), hak guna usaha, dan sebaiknya jangan dijual karena Wakatobi secara defacto merupakan pulau-pulau kecil. Selain itu, secara generasi, masyarakat Wakatobi itu tersebar di seluruh Indonesia dan bila lahan-lahan tersebut terjual kepada para investor maka akan mengasingkan masyarakat itu sendiri dalam beberapa tahun mendatang karena tanah adalah ikatan darah yang menjadi ikatan keluarga bagi generasi Wakatobi baik di masa lampau, sekarang dan masa yang akan datang, serta menjadi identitas jati diri anak lokal.
Pengelolaan terhadap barang-barang publik, pantai, laut dan terumbu karang terlepas dari zona-zona inti, zona penyangga, zona pariwisata, di Wakatobi sebaiknya dilakukan dengan mempertimbangan tahapan yang diajukan oleh Ostom (1990) bahwa terdapat 8 prinsip dalam mempelajari pengelolaan common property:
1.    Batas akses dan penggunaan dari common property terdefinisikan dengan jelas
2.    Relevansi aturan terhadap kondisi sumber daya lokal
3.    Pengaturan pilihan kolektif dalam pengambilan keputusan
4.    Monitoring efektif terhadap akses dan penggunaan sumber daya common property
5.    Sanksi gradual terhadap pelanggar aturan
6.    Mekanisme penyelesaian konflik
7.    Pengakuan minimal terhadap hak untuk mengelola dari otoritas eksternal.
8.    Manajemen jaringan dari sistem pengelolaan common property yang lebih besar (tiap lapisan dari manajemen berkaitan dengan lapisan manajemen yang lebih tinggi.

Ostrom lebih lanjut menyarankan bahwa seharusnya, kepemilikan swasta (private), lembaga-lembaga common-property, atau intervensi pemerintah, para cendikiawan membutuhkan sebuah pemahaman yang baik mengenai: (1) kondisi-kondisi yang memperluas atau memperkecil kerawanan dari rejim-rejim hak kepemilikan yang lebih efektif yang berkaitan dengan sumberdaya yang beragam, (2) stabilitas atau ketidakstabilitas sistem-sistem ini ketika ditantang oleh berbagai jenis perubahan baik dari dalam maupun dari luar, dan (3) biaya penguatan peraturan yang tidak berikaitan dengan keterlibatan tersebut. Selanjutnya, keandalan rejim-rejim hak kepemilikan di dalam keadaan lapangan harus dibandingkan dengan rejim-rejim yang lain di dalam keadaan lapangan. Tidak ada lembaga di dunia nyata yang dapat menang dalam konteks melawan lembaga-lembaga yang ideal. Pertanyaan validnya adalah bagaiana berbagai jenis bentuk pengaturan kelembagaan secara sebanding ketika diperhadapkan dengan lingkungan-lingkungan sulit yang sama.
Biaya transformasi merupakan sumberdaya yang dicurahkan untuk proses yang berkaitan dengan sebuah perubahan peraturan (Buchanan and Tullock, 1962; Ostrom, 1990). Ostrom melanjutkan bahwa biaya transformasi, sebagai contoh, secara positif berkaitan dengan jumlah individu yang membuah pilihan-pilihan kelembagaan, heterogenitas kepentingan yang dipertaruhkan, dan proporsi individual yang secara minimal penting untuk mencapai sebuah perubahan dalam peraturan status quo (disusun oleh peraturan-peraturan yang mengelola proses perubahan peraturan-peraturan tersebut). Biaya transformasi lebih rendah manakala para pemimpin yang terlibat. Karena biaya-biaya transformasi merupakan biaya-biaya dimuka, biaya-biaya tersebut agaknya kuran dipengaruhi oleh disount rate yang digunakan oleh para partisipan. Ostrom juga menyarankan penggunaan variabel-variabel yang mempengaruhi pilihan kelembagaan seperti yang digambarkan sebagai berikut.

Gambar 3. Ringkasan Variabel yang Mempengaruhi Pilihan Kelembagaan
(Sumber: Ostrom, 1990).






Pustaka

Eco_Gypsy., 2014. Founder of Wakatobi Dive Resort and The Collaborative Reef Conservation Project. Edition 03-Indonesia Jul. 14.
Kunaefi T.D., 2015. Tradisi Lisan Masyarakat dalam Melindungi Alam dan Lingkungan. Disampaikan pada Seminar Nasional “Pengembangan Green Business dan Green Technology yang Berkelanjutan” Universitas Budi Luhur, Jakarta, 21 November 2015.
Ostrom, Elinor., 1990. Governing the Commons. TheEvaluation of Institutions for Collective Action. Indiana University.
Ratman D.R., 2016. Pembangunan Destinasi Pariwisata Prioritas 2016-2019. Deputi Bidang Pengembangan Destinasi dan Investasi Pariwisata Kementerian Pariwisata. Disampaikan pada Rapat Koordinasi Nasional Kementerian Pariwisata “Akselerasi Pembangunan Kepariwisataan dalam Rangka Pencapaian Target 12 Juta Wisman dan 260 Juta Wisnus 2016” di Jakarta, 27 Januari 2016.
Schlager E., and Ostrom E., 1992. Property-Rights Regimes and Natural Resources: A Conceptual Analysis. Land Economics. Vol. 68 (3): 249 – 262.
Udu, Sumiman., 2012. Pengembangan Pariwisata dan Hilangnya Tanah-Tanah Sara di Wakatobi: Kajian Atas Perlawanan Masyarakat Adat. Disampaikan dalam International Conference & Summer School on Indonesian Studies Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia yang dilaksanakan di Sanur Bali tanggal 9-10 Februari 2012.


[1] http://wakatobinationalpark.com/statik/sejarah/.

[2] http://wakatobikab.go.id/statik/sejarah.kabupaten.wakatobi/sejarah.kabupaten.wakatobi.html


[3] Sumiman Udu, 2012. Pengembangan Pariwisata dan Hilangnya Tanah-Tanah Sara di Wakatobi: Kajian Atas Perlawanan Masyarakat Adat.


[4] Kunaefi T.D., 2015. Tradisi Lisan Masyarakat dalam Melindungi Alam dan Lingkungan.


[5] http://www.wakatobikab.go.id/newsview/507/wakatobi.satu.dari.10.top.destinasi.pariwisata.nasional.html


[6] Ratman D.R., 2016. Pembangunan Destinasi Pariwisata Prioritas 2016-2019.


[7] info kegiatan Coremap, 2008


[8] Eco Gypsy Indonesia Edition 03 Jul-14.

[9] https://www.facebook.com/groups/wakatobi0nline/permalink/1022620321118999/